Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Jumat, 24 Oktober 2008 0 komentar

Ketuban Pecah Dini (KPD)

Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif (1,2).
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup. (2,3,7)Ada 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru. (4)Protokol pengelolaan yang optimal harus memprtimbangkan 2 hal tersebut di atas dan faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun pada ibu.

DefinisiAda bermacam-macam batasan, teori dan definisi mengenai KPD. Beberapa penulis mendefinisikan KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan dan tidak diikuti tanda-tanda persalinan (1-10,15), ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu, misalnya 1 jam (9,11,12) atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan servik pada kala I, misalnya ketuban pecah sebelum pembukaan servik pada primigravida 3 cm dan pada multigravida kurang dari 5 cm. (10)InsidensiBeberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 - 10 % dari semua kehamilan.(6) Hal yang menguntungan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 % (3), sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kekahiran prematur. (1)KPD merupakan komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan kurang bulan, dan mempunyai kontribusi yang besar pada angka kematian perinatal pada bayi yang kurang bulan. Pengelolaan KPD pada kehamilan kurang dari 34 minggu sangat komplek, bertujuan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya prematuritas dan RDS. (4)EtiologiWalaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. (2,8,13) Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:
Infeksi Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. (4-6,8,11,14)Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). (5,8,12,14)Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi.(4,5,14)Kelainan letak,(12) misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.Keadaan sosial ekonomi (4,15)Faktor laina.Faktor golonngan darah Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit ketuban. (13)b.Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu. (12)c.Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum. (4,12,13,14.15)d.Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C). (8,14)
DiagnosaMenegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara :1.AnamnesaPenderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir atau ngepyok.(1,3,9,15) Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada pengeluaran lendir darah. 2.Inspeksi (15)Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.3.Pemeriksaan dengan spekulum. pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan, akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior. (1,3,8,9,13,16)4.Pemeriksaan dalamDidapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya diulakaukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.5.Pemeriksaan Penunjang5.1. Pemeriksaan laboraturiumCairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau dan pH nya. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali air ketuban mungkin juga urine atau sekret vagina. Sekret vagina ibu hamil pH : 4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning. 5.1.a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika krtas lakmus merah berubah menjadi birumenunjukkan adanya air ketuban (alkalis). pH air ketuban 7 – 7,5, darah dan infeksi vagina dapat mengahsilakan tes yang positif palsu.(1,7,8,913)51.b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis. (1,8,9)5.2. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahn pada penderita oligohidromnion.(10,12)Walaupun pendekatan diagnosis KPD cukup banyak macam dan caranya, namun pada umumnya KPD sudah bisa terdiagnosis dengan anamnesa dan pemeriksaan sedehana.II.5. Komplikasiinfeksi intrauterin Tali pusat menumbungPrematuritasDistosia (partus kering)PenatalaksanaanKetuban pecah dini ternasuk dalam kehamilan beresiko tinggi. Kesalan dalam mengelola KPD akan membawa akibat meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayinya.(4)Penatalaksaan KPD masih dilema bagi sebagian besar ahli kebidanan, selama masih beberapa masalah yang masih belum terjawab. Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan menaikkan insidensi bedah sesar, dan kalau menunggu persalinan spontan akan menaikkan insidensi chorioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi RDS, dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi yang akan memperjelek prognosis janin.(1,2)Penatalaksanaan KPD tergantung pada umur kehamilan. Kalau umur kehamilan tidak diuketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi (USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru sudah matang, chorioamnionitis yang diikuti dengan sepsi pada janin merupakan sebab utama meningginya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya selaput ketuban atau lamanya perode laten.(2,3,4,7)Kebanyakan penulis sepakat mengambil 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil sikap atau tindakan terhadap penderita KPD yaitu umur kehamilan dan ada tidaknmya tanda-tanda infeksi pada ibu.
Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)Beberpa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubunngan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = L.P = “lag” period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya. (13)Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % krhamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah,(16,17) bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan,(1) dan bila gagal dilakukan bedah caesar.Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaeadah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatanya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam.(1,2)Beberapa penulis meyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu samapai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.(10)Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin kepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop score jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5, dilakukan pematangan servik, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria. (7,9)
penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat koservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksi (2, 13Penderita perlu dirawat di rumah sakit,(15) ditidurkan dalam posisi trendelenberg,(13, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga tujuan menunda proses persalinan. (1,15,12)Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada pnderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru,(5,7,8,9,15) jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilanInduksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlansung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulakan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-kompliksai yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi.(1,3,4)Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedan sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tidakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll. (11,17)Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabakan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatan pengolahan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.(3,9.10,11,17)Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leokosit darah tepi setiap hari, pem,eriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya stiap 6 jam.(3,8)Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS.(8) The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sedian terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.(11)


DAFTAR PUSTAKA1.Smith Joseph.F., Premature Rupture of Membranes, http://www.chclibrary.org/micromed/00061770.html, 2001.2.Bruce Elizabeth, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.compleatmother.com/prom.htm, 20023.Yancey Michael.K., Prelabor Rupture of Membrane at Term : Inducce or Wait?, medscape General Medicine 1 (1), 19994.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.medem.com/medlb/article_detaillb_for_printer.cfm?article_ID=zzzcoCHLUJC&sub_cat=2005, 2002.5.Anonim, Premature Rupture of Membrane, http://www.mcevoy.demon.co.uk/medicine/ObsGyn/Obstetric/labour/PROM.html, 20026. Parry Samuel, Strauss Jerome.F, Premature Rupture of the Fetal Membrane dalam The New England Jurnal of medicine, Volume 338:663-670, March, 19987.Syaifuddin Abdul Bari, Ketuban Pecah Dini dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Maternal dan Neonatal, JNPKKD – POGI bekjerjasama dengan Yayasan Buku Pustaka Suwarno Prawihardjo, Jakarta, 2002, hal : 218 – 220.8.Hacker Neville.F., Moor J.George, Ketuban Pecah Dini dalam Esensial Obstetri dan Ginekologi, edisi 2, Hipokrates, Jakarta, 2001, hal : 304 – 3069.Ketuban Pecah Dini dalamBuku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo Bekerjasama dengan Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi – POGI, Jakarta, 2002, hal : M-112 – M-115.10.Komite Medik RSUP DR.Sardjito, Ketuban Pecah Dini dalam Standar Pelayanan medis RSUP DR. Sardjito, Buku I, Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1999, hal : 32 – 33.11.Phupong Vorapong, Prelabour Rupture of Memnranes in Journal of Pediatric, Obstetric and Gynaecology, Nov/Dec, 2003, Hal : 25 – 3112.Manuaba Ida Bagus Gde, Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 – 225.13.Mokhtar Ristam, Ketuban Pecah Dini dalam Sinopsis Obsteri, Obstetri Fisologi Obstetri Patologi I, EGC, Jakarta, 1994, hal : 285 – 287.14.Anonim, Premature Rupture of the Membrane, , 200315.Anonim, High-Risk PregnencyPremature Rupture of Membranes (PROM) / Preterm Prematurure Rupture of Membrane, http://www.musckid.com/health_library/hipregnant/prm.htm, 200116.Anonim, Premature Rupture of Membrane (PROM), http://www.womens-health.co.uk/prom.htm, 2002.17.Anonim, Premature Rupture of the Membranes, http://www.netnurse.com/pregnency/edudocs/c_conn0200.cfm, 2002

OLEH : Ns. SUMEDI,SKp
Definisi
• Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapat cairan berlebihan di
rongga pleura, dimana kondisi ini jika
dibiarkan akan membahayakan jiwa
penderitanya (John Gibson, MD, 1995,
Waspadji Sarwono (1999, 786)
• Efusi pleura adalah suatu keadaan
dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara
pleura parietalis dan pleura viseralis
dapat berupa cairan transudat atau
cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis
danTerapi / UPF ilmu penyakit paru,
1994, 111).
Etiologi
• Penyebab efusi pleura bisa
bermacam-macam seperti gagal
jantung, adanya neoplasma
(carcinoma bronchogenic dan akibat
metastasis tumor yang berasal dari
organ lain), tuberculosis paru, infark
paru, trauma, pneumoni, syndroma
nefrotik, hipoalbumin dan lain
sebagainya. (Allsagaaf H, Amin M
Saleh, 1998, 68)
Patofisiologi
• Dalam keadaan normal hanya
terdapat 10-20 ml cairan di dalam
rongga pleura.
• Jumlah cairan di rongga pleura tetap,
karena adanya tekanan hidrostatis
pleura parietalis sebesar 9 cm H2O.
• Akumulasi cairan pleura dapat terjadi
apabila tekanan osmotik koloid
menurun misalnya pada penderita
hipoalbuminemia dan bertambahnya
permeabilitas kapiler akibat ada
proses keradangan atau neoplasma,
bertambahnya tekanan hidrostatis
akibat kegagalan jantung dan tekanan
negatif intra pleura apabila terjadi
atelektasis paru (Alsagaf H, Mukti A,
1995, 145).
• Effusi pleura berarti terjadi
pengumpulan sejumlah besar cairan
bebas dalam kavum pleura.
Kemungkinan penyebab efusi antara
lain
1.penghambatan drainase limfatik dari
rongga pleura
2.gagal jantung yang menyebabkan
tekanan kapiler paru dan tekanan
perifer menjadi sangat tinggi sehingga
menimbulkan transudasi cairan yang
berlebihan ke dalam rongga pleura
3.sangat menurunnya tekanan osmotik
kolora plasma, jadi juga
memungkinkan transudasi cairan
yang berlebihan
4.infeksi atau setiap penyebab
peradangan apapun pada
permukaan pleura dari rongga
pleura, yang memecahkan
membran kapiler dan
memungkinkan pengaliran protein
plasma dan cairan ke dalam
rongga secara cepat (Guyton dan
Hall , Egc, 1997, 623-624).
Tanda & Gejala
-Manifestasi klinik efusi pleura akan
tergantung dari jumlah cairan yang ada
serta tingkat kompresi paru.
-Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya <
250 ml), mungkin belum menimbulkan
manifestasi klinik dan hanya dapat
dideteksi dengan X-ray foto thorakks.
Dengan membesarnya efusi akan
terjadi restriksi ekspansi paru dan
pasien mungkin mengalami :
1.Dispneu bervariasi
2.Nyeri pleuritik biasanya mendahului
efusi sekunder akibat penyakit pleura
3.Trakea bergeser menjauhi sisi yang
mengalami efusi
4.Ruang interkostal menonjol (efusi
yang berat)
5.Pergerakan dada berkurang dan
terhambat pada bagian yang terkena
6.Perkusi meredup di atas efusi pleura
7.Egofoni di atas paru-paru yang
tertekan dekat efusi
8.Suara nafas berkurang di atas efusi
pleura
9.Fremitus vokal dan raba berkurang
Penatalaksanaan
• Drainase cairan jika efusi
menimbulkan gejala subyektif seperti
nyeri, dyspnea
• Antibiotik jika terjadi empiema
• Pleurodesis
• Operatif
Pengkajian keperawatan
Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu
mengetahui tentang nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau
kepercayaan, suku bangsa, bahasa
yang dipakai, status pendidikan dan
pekerjaan pasien.
Keluhan Utama
• Keluhan utama merupakan faktor
utama yang mendorong pasien
mencari pertolongan atau berobat ke
rumah sakit.
• Biasanya pada pasien dengan effusi
pleura didapatkan keluhan berupa :
sesak nafas, rasa berat pada dada,
nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang
bersifat tajam dan terlokasilir terutama
pada saat batuk dan bernafas serta
batuk non produktif.
Riwayat Penyakit Sekarang
• Pasien dengan effusi pleura biasanya
akan diawali dengan adanya tandatanda
seperti batuk, sesak nafas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat
badan menurun dan sebagainya.
• Perlu juga ditanyakan mulai kapan
keluhan itu muncul. Apa tindakan yang
telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhankeluhannya
tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu
• Perlu ditanyakan apakah pasien
pernah menderita penyakit seperti
TBC paru, pneumoni, gagal jantung,
trauma, asites dan sebagainya. Hal ini
diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan adanya faktor
predisposisi.
Riwayat Penyakit Keluarga
>Perlu ditanyakan apakah ada anggota
keluarga yang menderita penyakitpenyakit
yang disinyalir sebagai
penyebab effusi pleura seperti Ca paru,
asma, TB paru dan lain sebagainya
Riwayat Psikososial
>Meliputi perasaan pasien terhadap
penyakitnya, bagaimana cara
mengatasinya serta bagaimana perilaku
pasien terhadap tindakan yang
dilakukan terhadap dirinya.
Pengkajian Pola Fungsi
Pola persepsi dan tata laksana hidup
sehat
• Adanya tindakan medis dan
perawatan di rumah sakit
mempengaruhi perubahan persepsi
tentang kesehatan, tapi kadang juga
memunculkan persepsi yang salah
terhadap pemeliharaan kesehatan.
• Kemungkinan adanya riwayat
kebiasaan merokok, minum alkohol
dan penggunaan obat-obatan bisa
menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
Pola nutrisi dan metabolisme
• Dalam pengkajian pola nutrisi dan
metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat
badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien,
• Perlu ditanyakan kebiasaan makan
dan minum sebelum dan selama
MRS pasien dengan effusi pleura akan
mengalami penurunan nafsu makan
akibat dari sesak nafas dan
penekanan pada struktur abdomen.
• Peningkatan metabolisme akan terjadi
akibat proses penyakit. pasien dengan
effusi pleura keadaan umumnya
lemah.
Pola eliminasi
• Dalam pengkajian pola eliminasi perlu
ditanyakan mengenai kebiasaan
defekasi sebelum dan sesudah MRS.
• Karena keadaan umum pasien yang
lemah, pasien akan lebih banyak bed
rest sehingga akan menimbulkan
konstipasi, selain akibat pencernaan
pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
Pola aktivitas dan latihan
• Akibat sesak nafas, kebutuhan O2
jaringan akan kurang terpenuhi
• Pasien akan cepat mengalami
kelelahan pada aktivitas minimal.
• Disamping itu pasien juga akan
mengurangi aktivitasnya akibat
adanya nyeri dada.
• Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya
sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
Pola tidur dan istirahat
• Adanya nyeri dada, sesak nafas dan
peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan
kebutuhan tidur dan istitahat,
• Selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah
sakit, dimana banyak orang yang
mondar-mandir, berisik dan lain
sebagainya.
Pola hubungan dan peran
• Akibat dari sakitnya, secara langsung
pasien akan mengalami perubahan
peran, misalkan pasien seorang ibu
rumah tangga, pasien tidak dapat
menjalankan fungsinya sebagai
seorang ibu yang harus mengasuh
anaknya, mengurus suaminya.
• Disamping itu, peran pasien di
masyarakatpun juga mengalami
perubahan dan semua itu
mempengaruhi hubungan
interpersonal pasien.
Pola persepsi dan konsep diri
• Persepsi pasien terhadap dirinya akan
berubah.
• Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba
mengalami sakit, sesak nafas, nyeri
dada. Pasien mungkin akan
beranggapan bahwa penyakitnya
adalah penyakit berbahaya dan
mematikan.
• Dalam hal ini pasien mungkin akan
kehilangan gambaran positif terhadap
dirinya
Pola sensori dan kognitif
• Fungsi panca indera pasien tidak
mengalami perubahan, demikian juga
dengan proses berpikirnya.
Pola reproduksi seksual
• Kebutuhan seksual pasien dalam hal
ini hubungan seks intercourse akan
terganggu untuk sementara waktu
karena pasien berada di rumah sakit
dan kondisi fisiknya masih lemah.
Pola penanggulangan stress
• Bagi pasien yang belum mengetahui
proses penyakitnya akan mengalami
stress dan mungkin pasien akan
banyak bertanya pada perawat dan
dokter yang merawatnya atau orang
yang mungkin dianggap lebih tahu
mengenai penyakitnya.
Pola tata nilai dan kepercayaan
• Sebagai seorang beragama pasien
akan lebih mendekatkan dirinya
kepada Tuhan dan menganggap
bahwa penyakitnya ini adalah suatu
cobaan dari Tuhan.
• Pemeriksaan Fisik
• Status Kesehatan Umum
• Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji,
bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama
dilakukan anamnesa, sikap dan
perilaku pasien terhadap petugas,
bagaimana mood pasien untuk
mengetahui tingkat kecemasan dan
ketegangan pasien.
• Perlu juga dilakukan pengukuran
tinggi badan berat badan pasien.
Sistem Respirasi
Inspeksi
• Pada pasien effusi pleura bentuk
hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar,
pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah
hemithorax kontra lateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus
kordis. RR cenderung meningkat dan
Px biasanya dyspneu.
• Fremitus tokal menurun terutama
untuk effusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc. Disamping itu
pada palpasi juga ditemukan
pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
• Suara perkusi redup sampai pekak
tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga
pleura, maka akan terdapat batas atas
cairan berupa garis lengkung dengan
ujung lateral atas ke medical penderita
dalam posisi duduk. Garis ini disebut
garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini
paling jelas di bagian depan dada,
kurang jelas di punggung.
• Auskultasi Suara nafas menurun
sampai menghilang. Pada posisi
duduk cairan makin ke atas makin
tipis, dan dibaliknya ada kompresi
atelektasis dari parenkian paru,
mungkin saja akan ditemukan tandatanda
auskultasi dari atelektasis
kompresi di sekitar batas atas cairan.
• Ditambah lagi dengan tanda i – e
artinya bila penderita diminta
mengucapkan kata-kata i maka akan
terdengar suara e sengau, yang
disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus,
Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)
Sistem Cardiovasculer
• Pada inspeksi perlu diperhatikan letak
ictus cordis, normal berada pada ICS
– 5 pada linea medio claviculaus kiri
selebar 1 cm. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya pembesaran jantung.
• Palpasi untuk menghitung frekuensi
jantung (health rate) dan harus
diperhatikan kedalaman dan teratur
tidaknya denyut jantung, perlu juga
memeriksa adanya thrill yaitu getaran
ictus cordis.
• Perkusi untuk menentukan batas
jantung dimana daerah jantung
terdengar pekak. Hal ini bertujuan
untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri.
• Auskultasi untuk menentukan suara
jantung I dan II tunggal atau gallop
dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi
darah.
Sistem Pencernaan
• Pada inspeksi perlu diperhatikan,
apakah abdomen membuncit atau
datar, tepi perut menonjol atau tidak,
umbilicus menonjol atau tidak, selain
itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa.
• Auskultasi untuk mendengarkan suara
peristaltik usus dimana nilai normalnya
5-35 kali permenit.
• Pada palpasi perlu juga diperhatikan,
adakah nyeri tekan abdomen, adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut
untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba, juga
apakah lien teraba.
• Perkusi abdomen normal tympani,
adanya massa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar,
asites, vesika urinarta, tumor).
Sistem Neurologis
• Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu
dikaji Disamping juga diperlukan
pemeriksaan GCS. Adakah
composmentis atau somnolen atau
comma.
• Pemeriksaan refleks patologis dan
refleks fisiologisnya.
• Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga
perlu dikaji seperti pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan
dan pengecapan.
Sistem Muskuloskeletal
• Pada inspeksi perlu diperhatikan
adakah edema peritibial
• Palpasi pada kedua ekstremetas
untuk mengetahui tingkat perfusi
perifer serta dengan pemerikasaan
capillary refil time.
• Dengan inspeksi dan palpasi
dilakukan pemeriksaan kekuatan otot
kemudian dibandingkan antara kiri dan
kanan.
Sistem Integumen
• Inspeksi mengenai keadaan umum
kulit higiene, warna ada tidaknya lesi
pada kulit, pada Px dengan effusi
biasanya akan tampak cyanosis akibat
adanya kegagalan sistem transport
O2.
• Pada palpasi perlu diperiksa
mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam). Kemudian texture
kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor
kulit untuk mengetahui derajat hidrasi
seseorang.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
• Darah lengkap dan kimia darah
• Bakteriologis
• Analisis cairan pleura
• Pemeriksaan radiologis
• Biopsi
Diagnosa Keperawatan
• Ketidakefektifan pola pernafasan
berhubungan dengan menurunnya
ekspansi paru sekunder terhadap
penumpukkan cairan dalam rongga
pleura (Susan Martin Tucleer, dkk,
1998).
• Perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan metabolisme
tubuh, penurunan nafsu makan akibat
sesak nafas sekunder terhadap
penekanan struktur abdomen
(Barbara Engram, 1993).
• Cemas berhubungan dengan adanya
ancaman kematian yang dibayangkan
(ketidakmampuan untuk bernafas).
• Gangguan pola tidur berhubungan
dengan batuk yang menetap dan
sesak nafas serta perubahan
suasana lingkungan
• Defisit perawatan diri berhubungan
dengan keletihan (keadaan fisik yang
lemah)
• Kurang pengetahuan mengenai
kondisi, aturan pengobatan
berhubungan dengan kurang terpajan
informasi


A. Pendahuluan

Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).

Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

Tujuan

a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA.

b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA.

c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA.

B. Pengertian

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit.

Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:

1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

C. Proses terjadinya masalah

Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.

1) Rentang Respons Kimiawi

Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).

2) Perilaku

3) Faktor penyebab.

Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:

a. Faktor biologic

· Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol

· Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman

b. Faktor psikologik

· Tipe kepribadian ketergantungan

· Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak

· Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan

· Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit

· Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi

c. Faktor sosiokultural

· Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat

· Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana

· Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural

· Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

4) Diagnosis medis

DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).

Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas, depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain:

1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania

2) 26% gangguan ansietas

3) 18% gangguan kepribadian antisocial

4) 7% skizofrenia

Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri.

Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998).

Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995).

Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.

Contoh: seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol, diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).

D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

1. Pengkajian

Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :

a. Perilaku

b. Faktor penyebab dan faktor pencetus

c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:

· penyangkalan (denial) terhadap masalah

· rasionalisasi

· memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya

· mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya

d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

2. Diagnosa Keperawatan

Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:

a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti

b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya

Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:

a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan

b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya

Contoh pohon masalah:

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien.

Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992):

a. Program intervensi.

Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien.

b. Individu

Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat.

· Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping yang konstruktif.

· Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.

c. Keluarga

· Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

d. Kelompok

· Program twelve step : AA dan NA

· Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi tersebut.

3. Intervensi Keperawatan

a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan. Kriteria hasil:

· mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk

· tidak mengalami cedera fisik

Intervensi:

Mandiri

1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam.

2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.

3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan

4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan

Kolaborasi

1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk

2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.

Rasional:

1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.

2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.

3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati

4) mencegah jatuh dengan cedera

5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.

6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.

4. Evaluasi

Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.

Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien.

Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.

Daftar Kepustakaan

· http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7

· http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html

Sub Literatur:

1. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.

5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.

7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

10. Wilson, H.S., and Kneisl, C.R. (1992). Psychiatric nursing. California: Addison-Wesley.Wiguna, T. (2003).