Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com


A. Pendahuluan

Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).

Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi zat dan withdrawal.

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

Tujuan

a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA.

b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA.

c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA.

B. Pengertian

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di rumah sakit.

Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:

1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya

C. Proses terjadinya masalah

Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.

1) Rentang Respons Kimiawi

Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).

2) Perilaku

3) Faktor penyebab.

Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:

a. Faktor biologic

· Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol

· Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman

b. Faktor psikologik

· Tipe kepribadian ketergantungan

· Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak

· Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan

· Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit

· Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi

c. Faktor sosiokultural

· Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat

· Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol dan mariyuana

· Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural

· Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

4) Diagnosis medis

DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat. Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal, delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).

Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas, depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain:

1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania

2) 26% gangguan ansietas

3) 18% gangguan kepribadian antisocial

4) 7% skizofrenia

Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri.

Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998).

Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995).

Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara. Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental, dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.

Contoh: seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol, diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood, kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).

D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

1. Pengkajian

Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :

a. Perilaku

b. Faktor penyebab dan faktor pencetus

c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:

· penyangkalan (denial) terhadap masalah

· rasionalisasi

· memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya

· mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya

d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

2. Diagnosa Keperawatan

Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:

a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti

b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya

Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:

a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan

b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya

Contoh pohon masalah:

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran. Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien.

Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992):

a. Program intervensi.

Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri; 2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien.

b. Individu

Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat.

· Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping yang konstruktif.

· Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.

c. Keluarga

· Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

d. Kelompok

· Program twelve step : AA dan NA

· Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi tersebut.

3. Intervensi Keperawatan

a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan. Kriteria hasil:

· mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk

· tidak mengalami cedera fisik

Intervensi:

Mandiri

1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi, hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam.

2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya bantalan pada pagar tempat tidur.

3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan

4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan

Kolaborasi

1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk

2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.

Rasional:

1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.

2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia, peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.

3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien neuropati

4) mencegah jatuh dengan cedera

5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.

6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.

4. Evaluasi

Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.

Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan klien.

Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.

Daftar Kepustakaan

· http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7

· http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html

Sub Literatur:

1. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.

5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.

7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St. Louis: Mosby Year Book.

9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

10. Wilson, H.S., and Kneisl, C.R. (1992). Psychiatric nursing. California: Addison-Wesley.Wiguna, T. (2003).


Kategori Klinis
Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 5/6/2008

Kisah si Narcissus
Kisah sang penakluk wilayah Thespiae di Boetia yang dianugerahi ketampanan, Narcissus, Narkissos atau Sang Pemuja Diri Sendiri

Beberapa versi kisah Narcissus salah satunya oleh Ovid dalam 'Echo'. Narcissus yang sedang berburu kijang di hutan merasa haus dan mengambil air di sebuah sungai, namun ia tak bisa menyentuh air itu karena takut merusak bayangan yang ada pada permukaan air. Narcissus meninggal dengan memandangi bayangannya sendiri dan tumbuhlah bunga Narcissus di tempat ia meninggal.

Namun Pausanias (seorang ahli geografi dan traveller dari Mesir, hidup pada abad kedua Masehi) menolak kisah seseorang yang tidak mampu membedakan manusia nyata dan bayangan, menurutnya Narcissus jatuh cinta pada saudara kembar perempuannya, yang mengenakan pakaian sama dengan Narcissus ketika berburu di hutan. Ketika saudara kembarnya meninggal, Narcissus sangat terpukul dan menganggap bayangan yang ia lihat di permukaan air itu adalah saudara kembarnya (www.wikipedia.com).

Kita yang tinggal di kota besar di Indonesia tentunya tidak akan sanggup mengambil air di sungai untuk minum, bukan karena ada bayangan yang mempesona, pastinya. Namun jaman sekarang kita tidak perlu sungai untuk bercermin, karena makin hari gambaran diri kita makin jelas, tebal dan kongkrit, menutupi inti sari diri yang makin tidak jelas.

Ada yang menganggap bahwa orang narsis itu menyebalkan dan berdampingan dengan orang narsis rasanya tidak menyenangkan karena atmosfernya penuh dengan persaingan, kesombongan, dsb regardless orang-orang narsis ini dari luar tampak punya rasa percaya diri yang besar. Menarik untuk kita lihat pemahaman narsis ini lebih jauh, karena dalam psikologi klinis dikenal pula istilah Narcissistic Personality Disorder. Dalam bahasa umum, orang narsisistik adalah orang yang menjadikan dirinya pusat dari segalanya.

The narcissist becomes his own world and believes the whole world is him
(Theodore I. Rubin)

Ia memiliki penilaian berlebih pada dirinya dalam skala ekstra besar, sehingga meresahkan, mengganggu kehidupan sosial sekelilingnya. Namun, gejala narsis ini pun dapat berlaku di masyarakat luas. Agar tidak selalu menebak, ada baiknya kita menengok definisi teoritik dan studi empirik dalam psikologi.

Narisisisme dalam studi psikologi
Dimensi kepribadian narsistik berasal dari kriteria narsistik dalam gangguan kepribadian, namun narsisme yang kita bahas kali ini lebih ditujukan bagi individu yang masih dapat berfungsi secara normal di masyarakat.

Narcissists characterized by a highly positive or inflated self-concept. Narcissists use a range of intrapersonal and interpersonal strategies for maintaining positive self-views.(Campbell, Rudich,& Sedikies , 2002)

Kita melihat kata kunci dalam narsistik yaitu: konsep diri yang terlalu melambung. Alexander Lowen dalam bukunya Narcissism: Denial of The True Self mengatakan bahwa secara psikologis, individu sudah dikatakan narsis jika mencurahkan segenap daya upaya untuk membangun image dengan mengorbankan diri sendiri. Mereka sering menipu diri demi penampilan.

Narcissist are more concerned with how they appear rather than what they feel. Indeed they deny feeling that contradict the image they seek.(Alexander Lowen, 1985)

Konsep diri yang melambung dari orang narsis juga terlihat dari potret mereka seperti yang dideskripsikan Lowen (1985), bahwa tindakan mereka seringkali tanpa dipikir dan dirasa, manipulative, egois, haus kekuasaan dan ingin pegang kendali, tidak jujur dalam membawa diri dan tidak punya integritas.

Sekilas tentang self esteem
Terjadi tumpang tindih antara narsistik dan self-esteem. Seringkali orang menyalahartikan definsi antara keduanya. Yang jelas, narsisme bersifat sebagai ancaman dan merusak karena terbentuk dari penilaian diri yang tidak realistik, rasional dan proporsional, sementara self-esteem (dalam kadar proporsional dan rasional / realistik) justru menguntungkan. Self-esteem merupakan derajat penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem tinggi dan sehat akan menilai dirinya secara positif. Dalam interaksi dengan orang lain, ia biasanya percaya diri, dan cenderung mengarah sebagai orang yang tampil dan pemimpin dalam kelompok.

Ironisnya, individu yang memiliki self-esteem rendah memandang dirinya kurang. Perasaan kurang ini, bisa nyata, bisa persepsi dirinya semata. Bisa jadi sesungguhnya ia memang punya kemampuan dan cemerlang dalam skill tertentu; namun pada saat yang sama kehilangan kepercayaan diri.

Self defeating behavior
Studi literature menunjukkan individu narsis memiliki perilaku seperti arogan, merendahkan orang lain, merespon ancaman ego dengan kekerasan dan agresivitas, menciptakan atribusi internal bagi kesuksesan (sukses karena kehebatan diri) dan sebaliknya atribusi eksternal ketika menghadapi kegagalan (gagal karena kesalahan lingkungan/pihak di luar diri sendiri), serta menilai masa depan secara berlebihan meski menghadapi kondisi yang tidak mendukung/kondusif.

Individu narsis juga tidak disukai oleh rekan sebaya/kelompoknya (meski biasanya telah menciptakan impresi diri positif) yang secara psikologis merasa dirugikan (Colvin, Block, & Funder, 1995 dalam Vazire & Funder,2006).

"In short, as they yearn and reach for self-affirmation,
[narcissists] destroy the very relationships on which they are dependent"
(Vazire & Funder, 2006).



Narsisime dalam kehidupan sosial
Salah satu ciri orang narsis adalah sikap yang berlebihan dalam menilai dirinya. Sifat berlebihan ini yang menyeret diri hingga merusak ikatan sosial dan mendistorsi sikap terhadap masa depan terkait pada estimasi (memperkirakan dan membaca rencana suksesnya).

Beberapa studi psikologi yang mengupas narsistik terkait dengan interaksi sosial sebagian besar menggambarkan hubungan yang tidak sehat dan distorted, corrupted karena karakter ini, di antaranya; fantasi tentang ketenaran atau kekuasaan (Raskin & Novacek, 1991 dalam Campbell, et al 2002), merespon kritik dengan kemarahan dan atribusi pencapaian diri (Campbell, Reeder, Sedikides, & Elliot, 2000; Far-well & Wohlwend-Lloyd, 1998; Rhodewalt & Morf,1996 dalam Campbell et al 2002), juga sikap merendahkan orang yang dianggap mengancam (Kernis & Sun, 1994 dalam Keith,2002). Narsistik juga kurang mampu menjaga komitmen dan memberikan perhatian dalam interaksinya dengan orang lain (Campbell, 1999; Campbell & Foster, 2001 dalam Campbell et al, 2002).

Pada perkembangan lingkungan sosial yang dinamis, kadang kita sering mendengar istilah narsis yang agak bergeser dari makna sesungguhnya. Narsis dalam bahasa gaul, menunjuk pada gaya humor antar individu yang berfungsi untuk mendorong kepercayaan diri dan penilaian diri positif, baik pada si subjek atau lawan bicaranya. Padahal seperti telah di bahas sebelumnya, bahwa seorang yang narsis punya tolok ukur yang tidak rasional-proporsional dalam menilai dirinya, baik secara individual maupun dalam interaksi sosial.

Gambaran individu narsis di atas bukan berarti susah dijumpai di lingkungan sosial kita. Orang-orang ini lebih dikenal sebagai orang sombong, yang cenderung mementingkan dirinya sendiri, menyelamatkan dirinya sendiri, kurang peka bahkan tidak memedulikan orang lain. Sikapnya jauh dari menyenangkan bahkan bisa berbuat kekerasan (seperti kekerasan verbal) demi melindungi egonya yang dirasakan terancam.

Tetapi karakter narsisme tidak begitu saja terlihat dalam waktu singkat. Mungkin salah satu petunjuk kilatnya adalah, ketika menemukan orang yang dengan renyahnya meremehkan atau merendahkan orang lain guna meninggikan dirinya sendiri dalam percakapan. Tentu tidak sekedar dalam nuansa kalimat, tetapi juga dari sikap dan bahasa tubuhnya. Orang yang sensi dan gampang tersinggung kalau di kasih nasehat, apalagi di tegur.

Ciri ini juga dikenal dalam teori outgroup-ingroup di mana salah satu cara untuk meninggikan kelompok adalah dengan merendahkan kelompok lain. Pada kenyataannya, hal ini terkait pada self-esteem diri (kelompok) yang rendah sehingga sangat membutuhkan pihak lain untuk direndahkan/diinjak sehingga ia (kelompok) mendapatkan dampak perasaan lebih baik, lebih tinggi.

Pertanyaan untuk pekerjaan rumah (PR) kita, apakah kita sering menemui orang seperti ini, atau kita lah yang insan narsis di lingkungan kita? Bagaimana dengan kelompok sosial kita, bangsa kita?



Literature

Vazire, Simine., Funder, David C. (2006) Impulsivity and the Self-Defeating Behavior of Narcissists. Personality and Social Psychology Review 2006, Vol. 10, No. 2, 154–165

Campbell,W. Keith., Rudich,Eric A., Sedikides,Constantine (2002) Narcissism, Self-Esteem, and the Positivity of Self-views: Two Portraits of Self-Love. PSPB, Vol. 28 No. 3, March 2002 358-368 © 2002 by the Society for Personality and Social Psychology, Inc.

http://en.wikipedia.org/wiki/Narcissus/mythology

BAB I. MANAJEMEN PRODUKTIVITAS

I. PENGERTIAN

Manajemen produktivitas adalah sebagai hasil yang didapat dari produksi yang menggunakan satu atau lebih faktor produksi, produktivitas biasanya dihitung sebagai indeks dan rasio antara output dengan input.¹)

Pengertian produktivitas, antara lain ²):

1. Produktivitas secara terpadu melibatkan semua usaha manusia dengan produktivitas mengandung pengertian sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa kehidupan hari ini harus lebih baik dari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.

2. Produksi dan produktivitas merupakan dua pengertian yang berbeda. Peningkatan produksimenunjukkan pertambahan jumlah hasil yang dicapai, sedangkan peningkatan produktivitas mengandung pengertian pertambahan hasil dan perbaikan cara produksi. Peningkatan produksi tidak selalu disebabkan oleh peningkatan produktivitas, karena produksi dapat meningkat walaupun produktivitas tetap atau menurun.

3. Peningkatan produktivitas dapat dilihat dalam tiga bentuk :

a. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan meningkat dengan menggunakan sumber daya (input) yang sama.

b. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan sama atau meningkat dicapai dengan menggunakan sumber daya (input) yang lebih sedikit.

c. Jumlah keluaran (output) dalam mencapai tujuan yang jauh lebih besar diperoleh dengan pertambahan sumber daya (input) yang relatif lebih kecil.

4. Sumber daya manusia memegang peranan yang utama dalam proses peningkatan produktivitas, karena alat produksi dan teknologi pada hakekatnya merupakan hasil karya manusia.




¹) : Kohler’s Dictionary for accountant 1983 (dikutip oleh Mulyono, 1993)

²) : Menurut Dewan Produktivitas Nasional RI yang dirumuskan pada tahun 1983

Produktivitas adalah keluaran (output) produk atau jasa per setiap masukan (input) sumber daya yang digunakan dalam suatu proses produksi. Tingkat ukur produktivitas sangat beragam bergantung kepada kepentingan yang terkait. Produktivitas dapat dinyatakan dalam ukuran fisik (physical productivity) dan ukuran finansial (financial productivity) apabila kepentingan tersebut adalah keuntungan. Produktivitas dapat menggunakan ukuran moneter sebagai tolak ukur. Apabila waktu menjadi kepentingan manajemen produktivitas maka dapat menggunakan ukuran moneter sebagai tolak ukurnya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manajemen produktivitas adalah bagaimana cara mengelola suatu usaha supaya lebih efisien dalam penggunaan input untuk memaksimalkan produksi output (barang dan/atau jasa), secara terpadu melibatkan semua usaha manusia dengan menggunakan ketrampilan, modal, teknologi, manajemen, informasi, energi, dan sumber-sumber daya lainnya, dengan tujuan untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan”.

Manajemen produktivitas merupakan salah satu sasaran penting suatu organisasi atau perusahaan / lembaga. Hal ini disebabkan karena manajemen produktivitas dapat menunjang kesuksesan dan keberhasilan suatu perusahaan / pemberi jasa untuk mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan.

II. TUJUAN MANAJEMEN PRODUKTIVITAS.

Tujuan dari manajemen produktivitas adalah efektif dan efisiensi, yaitu memberdayakan sumberdaya seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Efektivitas adalah merupakan derajat pencapaian output dari sistem produksi. Efisiensi adalah ukuran yang menunjuk sejauh mana sumber-sumber daya digunakan dalam proses produksi untuk menghasilkan output ¹). Jika efektivitas berorientasi pada hasil atau keluaran (output) yang lebih baik, dan efisiensi berorientasi pada masukan (input) yang lebih sedikit, maka dalam manajemen produktivitas berorientasi pada keduanya.




¹) : Gasperzs, th 1998, hal 14



III. LANGKAH-LANGKAH PENINGKATAN PRODUKTIVITAS

Tahapan peningkatan produktivitas yang komprehensif dan terintegrasi ¹) :

1. Analisa situasi.

Langkah awal manajemen produktivitas harus mampu menganalisa situasi sebelum mengambil keputusan ataupun mengambil tindakan yang akan ditetapkan . Contoh : Pada sebuah RS, kunjungan pasien lagi menurun drastis dari biasanya, maka tidak perlu menambah tenaga kerja / perawat baru.

2. Merancang program peningkatan produktivitas.

Untuk peningkatan produktivitas maka dibutuhkan pula dasar program dengan rancangan yang tepat, efektif dan efisien. Contoh : Untuk menambah kunjungan pasien rawat jalan disebuah RS, maka bisa dilakukan langkah-langkah promosi, baik dilakukan melalui media iklan, maupun bisa langsung melaksanakan program pemeriksaan gula darah gratis, khitanan gratis dan lain sebagainya.

3. Menciptakan kesadaran akan produktivitas.

Kesadaran dari semua pihak yang terlibat dalam sebuah perusahaan / lembaga, merupakan kunci penting untuk peningkatan produktivitas seperti yang diharapkan. Contoh : Karyawan mematikan alat-alat listrik yang tidak sedang digunakan, untuk menghemat energi dengan tujuan menghemat pengeluaran biaya.

4. Menerapkan Program

Untuk meningkatkan produktivitas program sudah disusun dan diputuskan, maka harus diimplementasikan dalam pelaksanaannya untuk mencapai tujuan akhir. Contoh : Program peningkatan keterampilan SDM dengan cara mengadakan berbagai pelatihan seperti tehnik infus bayi dan lain sebagainya, dengan tujuan untuk peningkatan produktivitas.

5. Mengevaluasi program dan memberikan umpan balik

Untuk menilai hasil akhir maka perlu dilakukan evaluasi program dengan memberikan umpan balik. Contoh : Mengevaluasi hasil dari pelatihan tehnik infus bayi, apakah perawat tersebut lebih profesional setelah mengikuti pelatihan tersebut?

¹) : Putti, 1989



IV. Tujuh Kunci Produktivitas Tinggi. ¹)

1. Keahlian, manajemen yang bertanggungjawab. Ikatan kritis antara manajemen perusahaan dengan produktivitas adalah saksi dalam definisi dasar produktivitas itu sendiri. Pada dasarnya, produktivitas adalah rasio antara keluaran (output ) dan masukan ( input ) yang bernilai, misalnya efisiensi dan efektivitas sumber- sumber daya yang tersedia, yaitu kepegawaian, alat, bahan, modal, fasilitas, energi dan waktu untuk mencapai keluaran yang sangat bernilai. Untuk mencapai produktivitas tinggi, setiap anggota manajemen harus diberi motivasi tinggi, positif dan secara penuh ikut melakukan pekerjaan. Secara bersama- sama, kesamaan sikap relative diperlukan untuk seluruh kekuatan kerja.

2. Kepemimpinan yang luar biasa. Dari semua factor, kepemimpinan manajerial memiliki pengaruh terbesar dalam produktivitas. Akhirnya, tujuan setiap organisasi bergantung pada kualitas kepemimpinan. Meskipun mudah dikenal, kepemimpinan sangat sulit didefinnisikan. Tidak ada dua gaya kepemimpinan yang sama – setiap gaya adalah unik bagi setiap individu, dan memang seharusnya demikian. Lebih lanjut, pemimpin yang baik dalam satu situasi mungkin saja bukan pemimpin yang baik dalam situasi yang lain. Demikian juga jenis pemimpin yang dibutuhkan secara khusus bergantung pada kelompok yang dipimpinnya. Meskipun demikian, kelompok yang sama masih dapat memerlukan jenis kepemimpinan lain pada saat berlainan dalam evolusinya. Sebagian manjer memiliki beberapa kemampuan kepemimpinan, tetapi hanya sedikit yang merupakan pemimpin luar biasa.

3. Kesederhanaan organisasional dan operasional. Susunan organisasi harus diusahakan agar sederhana, luwes dan dapat disesuaikan dengan perubahan, selalu berusaha mengadakan jumlah tingkat minimum yang konsisten dengan operasi yang efektif. Hal ini memberikan garis pengarahan lebih jelas, juga tanggung jawab yang kurang terpecah-belah dan sangat menunjang pengambilan inisiatif lebih besar oleh siapa saja dalam organisasi.

¹) : Hughes, dikutip dari http://www.hrsdm.com - 7 kunci produktivitas tinggi oleh : A. Dale Timpe

4. Kepegawaian yang efektif. Sebagai langkah awal, banyak perhatian dicurahkan pada pemilihan orang – menekankan pada mutu dan bukan kuantitas. Menambah lebih banyak pegawai belum tentu berarti meningkatkan produktivitas. Dan sebelum mempekerjakan orang baru, seharusnya dipastikan dahulu bahwa yang ada sekarang sudah berkinerja menurut kemampuan. Standar untuk manajer dan personalia kunci khususnya harus tinggi. Jika kedudukan ini dipegang oleh orang yang kompeten, orang kompeten lain akan tertarik masuk ke dalam organisasi

5. Tugas yang menantang. Tugas merupakan kunci untuk proses yang kreatif dan produktif. Setiap individu mempunyai suatu suasana khusus kegiatan kreatif dan produktif yang tinggi. Akan tetapi, orang yang tepat harus disesuaikan dengan masalah yang tepat baginya. Pekerjaan itu sendiri harus memberikan motivasi. Hal ini terutama menjadi kunci ke proses yang kreatif/inovatif. Panduan optimal dari pekerjaan dan lingkungan kerja menciptakan suatu getaran dalam diri seseorang; kerja seakan- akan menjadi bermain saja. Sebaliknya, jika pekerjaan seseorang tidak memberi kepuasan kepadanya, ia seringkali akan mengalihkan perhatian dan energinya ke usaha pribadi di luar organisasi. Menurut definisi, jangan sekali- kali memberikan suatu tugas kepada orang yang mempunyai keterampilan yang dipersyaratkan; berikan tugas itu kepada orang yang menginginkannya dan senang melakukannya; dan jangan sekali- kali memberikan tugas, yang dalam keadaan lain, kita sendiri tidak akan mau menerima.

6. Perencanaan dan pengendalian tujuan. Perencanaan yang tidak efektif menyebabkan kebocoran besar dalam produktivitas, misalnya orang yang tidak tahu apa yang diharapkan dari mereka, tugas yang tidak satu fasa dengan tugas lain, kegiatan peripheral, pelaksanaan di atas atau di bawah kinerja, dan operasi yang sebesar- besarnya berhenti dan mulai lagi. Sebaliknya, perencanaan yang efektif meningkatkan produktivitas operasional, yaitu membantu memastikan penggunaan sumberdaya dengan sebaik- baiknya, memadukan semua aspek




program ke dalam sesuatu yang efisien, upaya yang tepat, meminimalkan permulaan yang salah dan pelaksanaan usaha yang tidak produktif , menyediakan kelonggaran untuk risiko dan keadaan darurat pada masa depan dan meniadakan krisis manajemen yang berkelanjutan. Dengan cara yang sama, menjadi sangat penting untuk memantapkan system pengendalian yang efektif yang mengukur kemajuan terhadap rencana, menemukan penyimpanagn, menetapkan tanggungjawab, menunjukkan tindakan perbaikan dan memastikan bahwa kinerja yang tidak memenuhi standar ditingkatkan.

7. Pelatihan manajerial khusus. Manajemen jelas menjadi factor utama bagi produktivitas organisasi manapun, menjadi sangat penting bahwa organisasi berusaha mengembangkan suatu komitmen terhadap produktivitas dalam seluruh tim manajemennya, dan memberikan kepada anggota tim tersebut saran yang berguna untuk menerapkan usaha peningkatan produktivitas yang efektif dalam seluruh organisasi.




BAB II.

HUBUNGAN PRODUKTIVITAS DAN MUTU PRODUK YANG DIHASILKAN : SISTEM ATAU SDM

Tiap perusahaan/ lembaga/institusi akan mengukur produktivitas dan mutu berdasarkan keunikan tujuan dan sasarannya. Sebagai contoh, suatu perusahaan akan lebih fokus pada upaya-upaya pengembangan pangsa pasar sementara yang lain mungkin fokus pada pengurangan derajad kerusakan produk barang/jasa. Selain itu, mungkin ada pula yang akan memperbaiki dalam hal cara produksi, sedang yang lain fokus pada mengembangkan pemasaran hasil. Karena itu diperlukan diagnosis permasalahan. ¹)

Untuk merancang suatu program perbaikan efektivitas keorganisasian sebuah institusi atau perusahaan, pertama kali harus menentukan sesuatu yang terjadi secara faktual apakah dalam hal produktivitas atau mutu produk(barang/jasa). Misalnya mungkin saja sebuah Rumah Sakit sedang mengalami penurunan pasien, yang menyebabkan penurunan keuntungan karena sedang menghadapi resesi ekonomi atau mungkin dengan sebab-sebab lain. Ukuran dari kriteria kunci suatu mutu adalah syarat pokok untuk menilai suatu proses perbaikan. Intervensi produktivitas atau mutu seharusnya tidak diinisiasi tanpa adanya kriteria kunci ukuran yang handal dan absah.

Banyak faktor yang menentukan produktivitas dan mutu produk yang rendah. Faktor-faktor tersebut antara lain peralatan yang kuno, beban kerja yang tidak dapat diprediksi, arus kerja yang tidak efisien, rancangan pekerjaan tidak tepat, dan jarangnya kegiatan pelatihan dan pengembangan. Disamping itu adalah faktor-faktor intrinsik karyawan itu sendiri seperti tingkat pengetahuan, sikap,ketrampilan dan kemampuan serta motivasi. Semuanya dapat menyebabkan biaya produksi menjadi mahal.




¹) : Sjafri Mangkuprawira, http://ronawajah.wordpress.com

Kebanyakan strategi intervensi program perbaikan mengasumsikan bahwa faktor-faktor penyebab utama produktivitas dan mutu adalah kemampuan dan motivasi karyawan. Namun dari pengamatan di berbagai perusahaan /institusi, sekitar 80-85% dari masalah produktivitas dalam perusahaan /institusi adalah lebih karena faktor-faktor sistem daripada faktor manusia. Misalnya, ketidakberhasilan penerapan gugus kendali manajemen sangat ditentukan oleh kesalahan manajemen, dan pemeliharaan perlatan untuk pelaksanaan produksi yang kurang. Implikasinya adalah perbaikan produktivitas dan mutu lebih banyak didasarkan pada sistemnya itu sendiri; tidak selalu dari unsur manusianya.

Namun demikian bukan berarti pula bahwa unsur manusia tidak menentukan produktivitas dan mutu produk. Sebagai pelaku produksi tentunya langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi produktivitas dan mutu. Perdebatan masih tetap berlangsung tentang faktor mana yang paling dominan, apakah sistem atau manusia. Karena itu kalau akan melakukan perbaikan produktivitas dan mutu, manajer harus melakukan analisis dan pendekatan masalah yang spesifik di perusahaan atau institusi tersebut.


BAB III. KESIMPULAN

* Manajemen produktivitas adalah cara mengelola suatu usaha supaya lebih efisien dalam penggunaan input untuk memaksimalkan produksi output (barang atau jasa), secara terpadu melibatkan semua usaha manusia dengan menggunakan ketrampilan, modal, teknologi, manajemen, informasi, energi, dan sumber-sumber daya lainnya, dengan tujuan untuk mencapai hasil yang maksimal seperti target yang telah ditetapkan sebelumnya. Jadi, apabila manajemennya baik, maka hasil yang didapatkan juga baik, demikian juga sebaliknya.

* Manajemen produktivitas mempunyai tujuan untuk mempemaksimalkan hasil produksi, baik barang maupun jasa, dengan cara memberdayakan sumberdaya se-efisien (minimal) mungkin untuk mendapatkan hasil yang se-efektif (maksimal) mungkin.

* Dalam upaya peningkatan produktivitas, perlu diperhatikan langkah-langkah dalam meningkatkan produktivitas dan kunci-kunci untuk produktivitas tinggi, agar bisa mendapatkan hasil yang maksimal.

* Dalam manajemen produktivitas, sistem dan sumber daya manusia sangat mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan, apabila mutu sistem dan SDM nya sudah maksimal, maka akan mendapatkan mutu produk yang maksimal pula.



DAFTAR PUSTAKA

* Manajemen Sumber Daya Manusia Di Rumah Sakit, Dr Santoso Soeroso, EGC Jakarta, 2002.

* Tb. Sjafri Mangkuprawira, http://ronawajah.wordpress.com/

* 7 kunci produktivitas tinggi oleh : A. Dale Timpe http://www.hrsdm.com