Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com

Pelajaran Menjadi Orang Tua

Kamis, 14 Mei 2009

Oleh : Ubaydillah, AN


Seorang ayah muda akhirnya dapat membenarkan ucapan ibu mertuanya. Ayah muda ini tak tahan saat melihat anak perempuannya menangis dengan suara yang keras sambil melemparkan benda-benda mainan di sekitarnya. Karena tak tahan, biasanya yang dilakukan adalah menghindari suasana itu sebisa mungkin atau bereaksi secara agresif yang diakhir dengan penyesalan.

Kepada ibu mertuanya, si ayah muda ini bilang kalau dirinya tak tahan melihat anak kecil menangis. Tetapi apa jawab ibu mertuanya? Ibu mertuanya bilang kalau dulu dirinya juga begitu. Ketetapan hatinya menghadapi anak kecil diperoleh secara alamiah melalui proses yang tidak langsung. "Nanti kamu kalau terus belajar juga akan tahan, nak", ucap ibu mertuanya dengan santai.

Itu mungkin ucapan orangtua yang sederhana. Tetapi sebetulnya mengandung kearifan yang penting bagi pasangan muda. Ketetapan – keteguhan hati menghadapi kerewelan anak kecil itu sama seperti kekuatan dalam mengelola kesuksesan dan kegagalan. Kekuatan seseorang dalam mengelola kesuksesan itu tak diperoleh setelah orang itu menikmati kesuksesan. Kekuatan itu diperoleh jika seseorang berani, mampu dan mau berproses, menghadapi kesulitan, ganjalan, kegagalan dan lika liku perjalanan kehidupannya dengan tekun dan setia. Serangkaian "prosesi" alamiah ini yang memperkuat batin seseorang. Sama juga seperti batang pohon. Ia menguat dengan proses fotosintesis yang memperkuat daun, cabang dan ranting, seiring hempasan angin yang menerpanya.

Secara pribadi, saya kerap ditanya terkait dengan bagaimana menghadapi anak kecil dengan sabar saat menangis meminta sesuatu. Pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya tak ada yang sederhana. Kenapa? Ibarat orang memetik buah, jawaban itu sudah ada di atas sana dan tangganya pun sudah disediakan. Cuma, untuk memetik buah itu kita harus menaikinya sendiri. Buah itu tak jatuh dengan kata-kata, pengetahuan atau dengan menyuruh orang lain.

Kalau membaca sejumlah penjelasan ahli mengenai anak kecil, sangat wajar kalau kita sebagai orangtua itu mengalami kekagetan. Menurut Prof. Robert G. Harrington, PhD, dari University of Kansas, temper tantrum dialami seorang anak ketika usianya antara 1-4 tahun (Temper Tantrums: Guidelines for Parents: 2004),

Temper tantrum adalah problem normal pada perilaku anak kecil dalam mengungkapkan kejengkelannya ketika belum memiliki kata-kata yang memadai untuk mengungkapkan frustasinya atau belum memiliki kemampuan mengontrol dirinya atau bahkan kemampuan untuk melaksanakan keinginannya secara mandiri. Bentuknya banyak, misalnya berguling-guling saat menangis, menendang-nendang benda, atau membanting pintu saat ngambek, atau merajuk, menolak makan dan bicara.

Untuk orangtua yang sedang menghadapi perilaku seperti ini sangat disarankan agar tidak melihatnya sebagai kelainan yang luar bisa ataupun kewajaran yang luar biasa, melainkan melihatnya sebagai bagian proses tumbuh kembang yang perlu di lalui kedua pihak (orang tua dan anak). Persepsi itu menentukan tindakan orang tua, bentuknya bisa mulai dari menghukum secara luar biasa atau luar biasa toleran, karena dianggap "ah, kan masih kecil..." Proses ini mau tidak mau di lalui sebagai latihan mental orang tua maupun anak, sekaligus meletakkan dasar nilai dalam diri anak. Kalau di dalam masa ini orang tua memberikan instant gratification – kepuasan instan, demi menghentikan rengekan, kelak anak kita tidak menyadari bahwa manusia untuk bisa hidup haruslah bekerja; dan joy, contentment – merupakan dampak dari usaha optimum yang telah di keluarkan hingga mendatangkan kepuasan, regardless hasilnya.

Satu hal yang perlu di renungkan, misalkan kita tidak tahan dengan rengekan anak, lantas cepat-cepat memenuhi permintaan anak, atau pun di bribe – di sogok dengan janji-janji surga, supaya anak diam, jangan-jangan, kita sampai menjadi orang tua, belum berhasil mengatasi dorongan instant gratification diri sendiri. Maunya cepat-cepat ada, kalau perlu pakai jalan pintas. Ketidakmampuan mengelola dorongan dalam diri kita sebagai orang tua, akan terulang kembali ketika kita menghadapi anak.

Belajar bijak dan dewasa dari anak

Kalau melihat ke struktur ajaran keimanan, kesabaran itu disejajarkan dengan kesyukuran. Ketika hidup kita dalam keadaan positif maka kita diperintahkan untuk memfungsikan kesyukuran, dalam arti memunculkan ide positif, menjalankan aksi positif, cara positif, untuk meraih tujuan positif. Tapi, giliran menghadapi situasi negatif, maka kesabaranlah yang harus difungsikan. Tapi definisi kesabaran di sini berbeda dengan kesabaran patetik dan fatalistik, hanya menunggu tanpa berbuat apa-apa – dan ini setara dengan melemparkan tanggung jawab pada orang lain. Kesabaran dalam definisi ini, adalah kesabaran dalam konteks ketahanan mental yang diwujudkan dalam ketekunan kita sebagai orang tua untuk berproses. Artinya, belajar mengenal dan memperbaiki kelemahan kita dari hubungan yang terjalin dengan anak. Sebenarnya kita bisa melihat dengan sangat jelas, bahwa ada beberapa kesamaan antara sikap, karakter dan kebiasaan kita dengan anak baik dalam hal positif maupun negatif. Termasuk soal temper tantrum sebagai solusi instan untuk memperoleh keinginan.

Jadi sebetulnya, awalnya pelajaran kesabaran bukan di arahkan ke anak, tapi pada diri sendiri. Kalau kita sendiri tidak "sabar", mendengar rengekan anak, melihat kenakalan anak, melihat tindakan anak yang tidak mendukung image kita, melihat rupa anak yang tidak semanis atau secakep harapan kita – maka tidak heran jika kita ingin cepat keluar dari situasi itu, umumnya dengan sikap fatalistik. Makanya kita sering dengar ucapan "yah, mau bagaimana lagi...sudah bawan lahir dia nakal..."atau.."wajar laaah.....dia kan masih kecil"....jangan-jangan, kita sendiri yang tidak mampu mengelola dorongan-dorongan diri untuk tidak merokok, tidak nonton sinetron di kala anak belajar, tidak gossiping di saat kerja, tidak main game saat pekerjaan menumpuk, tidak shopping mania karena 70% discount.

Ada sebagian kita yang seakan-akan bijak sejak lahir. Dari lahir sudah kelihatan potensi "sabar" nya. Sebenarnya, juga produk dari sebuah proses, karena karakter orang tua serta proses hidup yang dialami turut menentukan dan mempengaruhi sifat, karakter, dan hal-hal yang bersifat "bawaan" anak.

Tapi ada juga yang seperti pohon beringin. Untuk meraih kematangan jiwanya, orang itu harus berkolaborasi dengan terpaan angin, teriknya matahari, sengatan benalu, atau torehan pisau orang iseng – semua itu proses hidup yang sebenarnya, kalau digunakan dan di tempatkan dengan benar, melahirkan kebijaksanaan yang mengalir dalam sikap tekun dan setia – sabar untuk dibentuk dan membentuk diri – sebelum membentuk orang lain. Bayangkan saja, kalau kita nya sendiri belum punya bentuk, masih foto copy pola lama, atau masih format original yang belum di up grade – alias masih mengedepankan "Id" bagaimana bisa membentuk anak?

Intinya, semua orang itu diberi potensi untuk menjadi "penyabar lan bijak". Soal potensi itu kita gunakan atau tidak, ini kita yang ditawari untuk memilih. Karena itu, perintah bersabar itu bersifat umum dan mutlak, tidak hanya ditujukan kepada orang tertentu tapi kepada tiap orang.

Beberapa Faktor Pendukung

Ketika konteksnya kita bawa untuk menjelaskan bagaimana kita bisa menjadi orangtua yang lebih sabar dan bijak, maka secara umum memang ada beberapa faktor yang bisa kita sebut sebagai pendukung untuk ke sana. Sejumlah faktor itu bisa kita sebutkan di sini, antara lain:

  • Hubungan orangtua / ayah-ibu. Semakin sinergis hubungan yang terjalin antara ayah dan ibu, baik secara lahir dan batin, semakin besar potensi untuk saling memberi support dalam menghadapi tantangan menjadi "orang tua". Banyak hasil penelitian yang mengungkap bahwa anak sering jadi korban ketidakhamonisan orangtuanya. Kalau orang tua sendiri sudah berselisih paham dan nilai, atau adu kekuatan, atau bahkan yang satu menjajah yang lain, bagaimana bisa berkolaborasi untuk mendidik anak ?
  • Persepsi orangtua. Orangtua yang menganggap dirinya sebagai guru dan penguasa yang serba segala-galanya di hadapan anak, mungkin lebih sulit belajar sabar lan bijak dibanding orangtua yang juga menyadari pentingnya untuk menjadi "murid" yang punya kesediaan memahami dan mempelajari prilaku anak untuk ditemukan solusinya.
  • Penguasaan suasana batin. Orangtua yang lebih matang dalam mengontrol stress, akan lebih mudah belajar menjadi lebih sabar ketimbang orangtua yang selalu reaktif terhadap stress atau membawa-bawa stress-nya dalam menghadapi anak. Kalau orang tua sendiri blm mampu mengolah
  • Kematangan mental. Orangtua yang pengalaman hidupnya lebih variatif, jiwanya lebih besar, pede-nya lebih tinggi, atau nilai-nilai yang ada di dadanya lebih kuat, akan lebih mudah mempelajari kesabaran.
  • Penyikapan terhadap keadaan ekonomi keluarga. Ini pengertiannya bukan soal kaya atau miskin, melainkan lebih pada bagaimana penyikapan terhadap fluktuasi kondisi ekonomi keluarga di saat-saat tertentu. Sikap yang positif akan lebih mendukung untuk belajar lebih sabar ketimbang sikap yang negatif.
  • Wacana dan nilai-nilai yang dikembangkan dalam keluarga. Keluarga yang masih membuka pembicaraan mengenai wacana hidup yang menggugah jiwa atau nilai-nilai kearifan yang mencerahkan, akan lebih mudah belajar kesabaran ketimbang keluarga yang materi pembicaraannya sebatas pada hal-hal yang superfisial.
  • Situasi dan kondisi eksternal keluarga secara umum. Keluarga yang orang-orang di dalamnya satu hati, satu visi, dan satu irama, akan lebih mendukung untuk belajar kesabaran.

Itu semua adalah faktor pendukung. Faktor ini hanya akan aktif dukungannya apabila kita mengaktifkan faktor penentu. Siapa yang menjadi faktor penentu di sini? Faktor penentunya adalah kita dengan segala komitmen yang kita miliki untuk belajar "sabar" – ikut berproses dan bertumbuh jadi dewasa seiring dengan proses tumbuh kembang anak kita.

Beberapa Tips Menghadapi Rewelan Anak

Apa saja yang bisa kita lakukan saat menghadapi anak yang sedang rewel, ngambek, atau marah? Di bawah ini ada sejumlah cara yang mungkin bisa kita pilih salah satunya atau sebagiannya sebagai langkah menjadi orangtua yang lebih rasional:

  • Belajar menguasai diri lebih dulu. Dengan menguasai diri, kalau pun kita marah, marahlah secara rasional, sehingga tidak lepas kendali.
  • Ajarkan anak dari kecil untuk mengenali emosinya dan cara yang bisa dilakukan untuk mengungkapkan perasaannya.
  • Abaikan reaksi emosi anak yang irrasional dan tidak logis – tapi berikan penjelasan mengapa Anda mengabaikan rengekan dan jeritannya.
  • Terapkan disiplin yang logis, misalnya setiap dia ngambek, kita mengajaknya di kamar, biarkan sendiri dalam beberapa waktu sampai bisa mengendalikan diri dan setelahnya di ajak bicara dari hati ke hati dengan akal sehat.
  • Terus berusaha mengungkap motif di balik perilaku yang ngambek itu, mungkin mencari perhatian, mengajukan tuntutan, atau menolak apa yang kita perintahkan. Secara umum, ke-ngambek-an yang tingkat rutinitasnya tinggi dan alasannya sangat abstrak, biasanya disebabkan oleh kurangnya kualitas hubungan / kehangatan hubungan / kedekatan, sehingga yang terjadi, orang tua mengendalikan anak, atau anak mengendalikan orang tua.
  • Lebih fokuslah untuk memberikan reward atas perilaku yang positif ketimbang bereaksi negatif atas perilaku yang negatif. Misalnya, kalau dia sudah berhasil mengurangi intensitas dan frekuensi ke-ngambek-kannya, ya kita perlu mengasih reward dalam berbagai bentuk yang bisa ia tafsirkan sebagai penghargaan.
  • Jangan sampai kita takut dengan perilaku anak yang ngambek lalu kita mengabulkan permintaannya. Ini akan mengajarkan sebuah teknik hidup bahwa ngambek-lah cara yang paling mulus untuk mencapai tujuan. Tapi jangan juga memunculkan kesan bahwa kalau dia tidak ngambek, permintaannya sering diabaikan.
  • Terus intensifkan membuka komunikasi yang semakin heart to heart agar kita bisa memahamkan perilaku yang baik atau mendiskusikan efek buruk bagi perilaku yang buruk. Bisa juga menjadikan anak lain yang suka ngambek sebagai bahan studi kasus dengan dia, namun tetap menghindari sikap "menyerang".

Keanehan Dunia

Dunia ini sering menunjukkan keanehan. Sebagian besar kita meyakini keburukan itu hanya bisa dikalahkan dengan keburukan juga. Padahal kita tahu kebaikanlah yang sering menang melawan keburukan dengan hasil yang sangat manis. Itulah kenapa kita perlu berlatih "kesabaran" dalam menghadapi amukan topan badai anak kita. Semoga bermanfaat.


Sumber : http://www.e-psikologi.com

0 komentar

Posting Komentar