Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com

Angka kejadian penyakit Demam Berdarah yang cenderung sulit turun menyebabkan berbagai upaya pemberantasan terus dilakukan. Sebagaimana kita kenal, metode pemberantasan habitat nyamuk ini, misalnya dengan upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN), masih dianggap cara paling efektif. Namun penggunaan bahan kimia (pestisida), merupakan komplementer yang juga cenderung makin dapat dipercaya kehandalannya, walapun banyak catatan yang harus kita perhatikan.

Sebetulnya metode pemberantasan nyamuk dengan menggunakan insektisida, atau umum kita kenal dengan fogging, sudah dimulai sejak tahun 1999. Beberapa kriteria dipersyaratkan untuk dapat dilakukan prosedur pengasapan ini, seperti adanya penderita atau suspect penderita Demam berdarah Dengue (DBD), dan angka bebas jentik di wilayah tersebut.

Sejak tahun 1988, disamping fogging, juga dikenalkan program abatisasi, meminjam istilah jenis bahan atau merk insektisida yang digunakan, yaitu bubuk abate. Pada dasarnya abatisasi dilakukan dengan membubuhkan bahan insektisida jenis organofosfat dengan bahan aktif temefos, pada tandon air yang sulit dilakukan pengurasan karena masalah teknis, seperti volume yang terlalu besar atau karena daerah sulit air bersih

Penggunaan pestisida terutama malathion sampai saat ini belum berhasil optimal, dengan beberapa indikator, seperti angka kejadian DBD yang belum turun secara bermakna. Disamping itu dampak penggunaan bahan kimia ini, ditengarai menyebabkan resistensi pada nyamuk Aedes aegypti, sehingga memaksa dilakukan penambahan dosis pemakaian. Kondisi ini dapat berakibat buruk pada pencemaran lingkungan, karena pestisida.

Terkait dengan uraian diatas, dirasa penting diketahui bagi rekan-rekan sanitarian atau ahli kesehatan masyarakat, beberapa informasi terkait insektisida ini. Insektisida adalah bahan kimia yang termasuk dalam kategori pestisida, dengan penggunaan spesifik untuk pemberantasan serangga. Insektisida dapat digunakan dengan mempertimbangkan beberapa sifat berikut :

-Mempunyai daya bunuh yang tinggi dan cepat untuk serangga, serta tidak berbahaya bagi makhluk hidup yang lain.
-Aman untuk lingkungan
-Murah dan bisa dibuat dalam jumlah yang besar
-Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar
-Mudah digunakan dan bisa dicampur dengan berbagai macam pelarut
-Tidak berwarna dan tidak berbau

Terdapat beberapa mekanisme dan cara masuk insektisida ke dalam tubuh serangga (port de entry), antara lain sebagai berikut :

-Racun kontak (Contact poisson), masuk melalui kontak dengan kulit. Diaplikasikan langsung menembus integumen serangga (kutikula), trakea atau kelenjar sensorik dan organ lain yang berhubungan dengan kutikula. Bahan kimia yang terkandung dalam insektisida melarutkan lemak atau lapisan lilin pada kutikula sehingga menyebabkan bahan aktif yang terkandung dalam insektisida tersebut dapat menembus tubuh serangga.
-Racun perut (Stomach poisson), masuk melalui mulut dan saluran pencernaan, sehingga bahan aktif harus tertelan lebih dahulu untuk dapat memberikan efek yang diharapkan.
-Fumigasi, masuk melalui saluran pernafasan. Pada tubuh serangga saluran pernafasan berupa spirakel.

Mekanisme kerja insektisida pada dasarnya merupakan cara kerja insektisida dalam memberikan pengaruh terhadap serangga berdasarkan aktivitas insektisida dalam tubuh serangga. Insektisida dapat memberikan efek terhadap serangga karena bahan aktif dari insektisida mempunyai titik tangkap (target site) yang spesifik dalam tubuh serangga. Titik tangkap ini biasanya merupakan enzim atau protein.

Secara garis besar terdapat beberapa mekanisme dan cara kerja, sehingga insektisida dapat berfungsi membasmi serangga. Mekanisme tersebut antara lain :

Mempengaruhi sistem saraf : Kebanyakan insektisida mempengaruhi sistem saraf, baik dari jenis organofosfat, pyretroid, organoklorin dan karbamat. Beberapa jenis insektisida yang sangat sering digunakan dalam menanggulangi kejadian demam berdarah dengue adalah Sipermetrin dari golongan pyretroid dan temefos dari golongan organofosfat. Keduanya memberikan efek pada sistem saraf .

Mengganggu sistem endokrin: Insektisida jenis ini akan mengganggu sistem endokrin yang spesifik pada zat pengatur tumbuh pada serangga. Bahan aktif insektisida akan memacu hormon kemudaan atau juvenil di otak untuk terus diproduksi sehingga serangga tidak akan tumbuh dan tetap pada stadium pra dewasa. Pada kondisi normal hormon juvenil ini akan berhenti diproduksi jika pertumbuhan serangga sudah dirasa cukup sehingga serangga akan mengalami molting atau pergantian kulit. Akibat racun insektisida ini kerja hormon menjadi terus menerus sehingga pertumbuhan serangga menjadi kacau, tidak mampu melakukan pergantian kulit secara normal dan jika menjadi dewasa pun merupakan dewasa yang tidak mampu bereproduksi secara normal.


Penghambat produksi energi: Insektisida ini akan menghambat terbentuknya ATP yang merupakan sumber energi sehingga serangga akan mati kehabisan energi. Pestisida terikat pada sitokrom yang terdapat di mitokondria sehingga mengganggu transport elektron. Proses pembentukan ATP terjadi melalui proses respirasi yang salah satu fasenya adalah transport elektron, apabila fase ini terhambat pembentukan ATP menjadi terganggu.

Menghambat produksi kutikula: Insektisida jenis ini disebut juga sebagai penghambat sintesis kitin (sebagai inhibitor) atau disebut juga sebagai penghambat zat pengatur tumbuh pada serangga. Serangga yang terkena racun ini tidak akan bisa memproduksi kitin yang merupakan komponen utama pada eksoskeleton. Oleh karena itu pada saat pergantian kulit tidak akan bisa memproduksi kutikula yang baik.

Mengganggu keseimbangan air: Tubuh serangga dilapisi lilin yang bertujuan untuk melindungi tubuh serangga dari penguapan air pada tubuhnya. Insektisida ini akan menghilangkan lapisan lilin yang melindungi tubuh serangga ini sehingga serangga akan mati karena kekeringan. Insektisida jenis ini mempunyai kelemahan yang cukup besar karena kebanyakan serangga hidup di daerah yang relatif lembab jadi jenis insektisida ini sangat mudah untuk ditoleransi. Banyak serangga yang masih bisa hidup tanpa lapisan kutikula karena lingkungan tempat hidupnya yang lembab.

Reference: Hama Permukiman Indonesia, Singgih, dkk, 2006. Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Bogor.

Sumber tulisan
Sumber Foto

0 komentar

Posting Komentar