Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com

A. Berkata Jujur
1. Definisi
Dalam konteks berkata jujur (truth telling}, ada suatu istilah yang disebut desepsi, berasal dari kata decieve yang berarti membuat orang percaya terhadap suatu hal yang tidak benar, meniru, atau membohongi. Desepsi meliputi berkata bohong, mengingkari, atau menolak, tidak memberikan informasi dan memberikan jawaban tidak sesuai dengan pertanyaan atau tidak memberikan penjelasan sewaktu informasi dibutuhkan.
Berkata bohong merupakan tindakan desepsi yang paling dramatis karena dalam tindakan ini, seorang dituntut untuk membenarkan sesuatu yang diyakini salah. Salah satu contoh tindakan desepsi adalah perawat memberikan obat plasebo dan tidak member! tahu klien tentang obat apa yang sebenarnya diberikan tersebut.
2. Menurut Etika
Tindakan desepsi ini secara etika tidak dibenarkan. Para ahli etika menyatakan bahwa tindakan desepsi membutuhkan keputusan yang jelas terhadap siapa yang diharapkan melalui tindakan tersebut. Konsep kejujuran merupakan prinsip etis yang mendasari berkata jujur. Seperti juga tugas yang lain, berkata jujur bersifat prima facie (tidak mutlak) sehingga desepsi pada keadaan tertentu diperbolehkan. Berbagai alasan yang dikemukakan dan mendukung posisi bahwa perawat harus berkata jujur, yaitu bahwa berkata jujur merupakan hal yang penting dalam hubungan sating percaya perawat-klien, klien mempunyai hak untuk mengetahui, berkata jujur merupakan kewajiban moral, menghilangkan cemas dan penderitaan, meningkatkan kerja sama klien maupun keluarga, dan memenuhi kebutuhan perawat.
Menurut Free, alasan yang mendukung tindakan desepsi, termasuk berkata bohong, mencakup bahwa klien tidak mungkin dapat menerima kenyataan. Klien menghendaki untuk tidak diberi tahu bila hal tersebut menyakitkan. Secara profesional perawat mempunyai kewajiban tidak melakukan hal yang merugikan klien dan desepsi mungkin mempunyai manfaat untuk meningkatkan kerja samalien (McCloskey, 1990).
3. Kasus
Seorang ibu berumur 30 tahun, warga Sragen melahirkan seorang anak dengan cacat fisik tidak mempunyai kedua tangan dan kedua kaki, sedangkan klien belum mengetahui kondisi anaknya, apakah yang harus di katakan perawat tersebut, harus berkata jujur atau berkata bohong?
4. Pendapat
Menurut pendapat saya, perawat tersebut harus berkata jujur karena apapun yang terjadi itu adalah anaknya dan merupakan anugrah dari Tuhan yang ahrus dijaga dan dirawat.

B. AIDS
1. Definisi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay di Amerika Serikat pada tahun 1980 atau 1981. AIDS juga pada mulanya ditemukan di Afrika. Saat ini AIDS hampir ditemukan di setiap negara, termasuk Indonesia. Oleh karena pada awalnya ditemukan pada masyarakat gay (homoseksual) maka kemudian muncul anggapan yang tidak tepat bahwa AIDS merupakan gay disease. Menurut Forrester, pada kenyataannya AIDS juga mengenai biseksual, heteroseksual, kaum pengguna obat, dan prostitusi (McCloskey, 1990).
2. Menurut Etika
AIDS tidak saja menimbulkan dampak pada penatalaksanaan klinis, tetapi juga dampak sosial, kekhawatiran masyarakat, serta masalah hukum dan etika. Oleh karena sifat virus penyebab AIDS, yaitu HIV, dapat menular pada orang lain maka muncul ketakutan masyarakat untuk berhubungan dengan penderita AIDS dan kadang-kadang penderita AIDS sering diperlakukan tidak adil dan didiskriminasikan. Perilaku diskriminasi ini tidak saja terjadi di masya¬rakat yang belum paham AIDS, tetapi juga di masyarakat yang sudah tahu AIDS, juga di masyarakat yang paham AIDS.
Perawat yang bertanggung jawab dalam merawat klien AIDS akan mengalami berbagai stres pribadi, termasuk takut tertular atau menularkan pada keluarga dan ledakan emosi bila merawat klien AIDS fase terminal yang berusia muda dengan gaya hidup yang bertentangan dengan gaya hidup perawat. Pernyataan profesional bagi perawat yang mempunyai tugas merawat klien terinfeksi virus HIV, membutuhkan klasifikasi nilai-nilai yang diyakini perawat tentang hubungan homoseksual dan penggunaan/penyalahgunaan obat (Phipps, Long, 1991).
Perawat sangat berperan dalam perawatan klien, sepanjang infeksi HIV masih ada dengan berbagai komplikasi sampai kematian tiba. Perawat terlibat dalam pembuatan keputusan tentang tindakan atau terapi yang dapat dihentikan dan tetap menghargai martabat manusia; pada saat tidak ada terapi medis lagi yang dapat diberikan kepada klien, seperti mengidentifikasi nilai-nilai, menggali makna hidup klien, memberikan rasa. nyaman, memberi dukungan manusiawi, dan membantu meninggal dunia dalam keadaan tenteram dan damai (Phipps, Long, 1991).
3. Kasus
Seorang pemuda berumur 25 tahun meningggal karena terserang penyakit HIV/ AIDS, semua keluarganya tidak berani memandikan di karnakan takut tertular penyakit tersebut, apa yang harus dilakukan seorang perawat kepada pasien tersebut.
4. Pendapat
Menurut pendapat saya,perawat haus tetap memandikan pasien tersebut , misalnya dengan menggunakan pelindung diri yang lengkap dan berhati hati dalam melakukan tindakan tersebut.

C. FERTILISASI IN VITRO, INSEMINASI ARTIFISIAL DAN PENGONTROLAN REPRODUKSI
1. Definisi
Fertilisasi in vitro, inseminasi artifisial, merupakan dua dari berbagai metode baru yang digunakan untuk mengontrol reproduksi. Menurut Olshanky, kedua metode ini memberikan harapan bagi pasangan infertil untuk mendapatkan keturunan (McCloskey,1990).
Fertilisasi in vitro merupakan metode konsepsi yang dilakukan dengan cara membuat bypass pada tuba falopi wanita. Tindakan ini dilakukan dengan cara memberikan hiperstimulasi ovarium untuk mendapatkan beberapa sel telur atau folikel yang siap dibuahi. Sel-sel telur ini kemudian diambil melalui prosedur pembedahan. Proses pembuahan dilakukan dengan cara meletakkan sel telur dalam tabung dan mencampurinya dengan sperma pasangan wanita yang bersangkutan atau dari donor. Sel telur yang telah dibuahi kemudian mengalami serangkaian proses pembelahan sel sampai menjadi embrio, kemudian embrio ini dipindahkan ke dalam uterus wanita dengan harapan dapat terjadi kehamilan.
Inseminasi artifisial merupakan prosedur untuk menimbulkan kehamilan dengan cara mengumpulkan sperma seorang pria yang kemudian dimasukkan ke dalam uterus wanita saat terjadi ovulasi. Teknologi yang lebih baru pada inseminasi artifisial adalah dengan menggunakan ultrasound dan stimulasi ovarium sehingga ovulasi dapat diharapkan pada waktu yang tepat. Sperma dicuci dengan cairan tertentu untuk mengendalikan motilitasnya, kemudian dimasukkan ke dalam uterus wanita.
2. Hukum dan Menurut Etika
Berbagai masalah etika muncul berkaitan dengan teknologi tersebut Masalah ini tidak saja dimiliki oleh para pasangan infertil, tim kesehatan yang menangani, tetapi juga oleh masyarakat. Berbagai pertanyaan diajukan apa sebenarnya hakikat/kemurnian hidup? Kapan awal hidup manusia? Hakikat keluarga? Apakah pendonor sel telur atau sperms bisa dikatakan sebagai bagian keluarga? Bagaimana bila teknologi dilakukan pada pasangan lesbian atau homoseksual?
Pendapat yang diajukan oleh para ahli cukup bervariasi. Pihak yang memberikan dukungan menyatakan bahwa teknologi tersebut pada dasarnya bertujuan untuk memberikan harapan atau membantu pasangan infertil untuk mempunyai keturunan. Pihak yang menolak menyatakan bahwa tindakan ini tidak dibenarkan, terutama bila telur atau sperma berasal dari donor. Beberapa gerakan wanita menyata¬kan bahwa tindakan fertilisasi in vitro maupun inseminasi memperlakukan wanita secara tidak wajar dan hanya wanita kalangan atas yang mendapatkan teknologi tersebut karena biaya yang cukup tinggi. Dalam praktik ini sering pula hak para wanita untuk "memilih" dilanggar (Olshanky, 1990).
Kesimpulannya, teknologi ini memang merupakan masalah yang kompleks dan cukup jelas dapat melanggar nilai-nilai masyarakat dan wanita, tetapi cukup memberi harapan kepada pasangan infertil. Untuk mengantisipasinya diperlukan aturan atau undang-undang yang jelas. Perawat mempunyai peran penting, terutama memberikan konseling pada klien yang memutuskan akan melakukan tindakan tersebut.
Penelitian keperawatan yang berkaitan dengan fertilisasi in vitro dan inseminasi artifisial menurut Olshansky (1990) meliputi aspek manusiawi penggunaan teknologi, respons manusia terhadap teknologi canggih, konsekuensi tidak menerima teknologi, pengalaman wanita yang berhasil hamil atas bantuan teknologi, dan asp terapeutik praktek Keperawatan pada orang yang memilih untuk menggunakan teknologi tersebut.
Menurut Wiradharma (1996: 121—122) mengatakan bahwa selama pra-embriobelum berada di dalam kandungan belum ada ketentuan hokum yang mengatur haknya. KUHP yang mengatur mengenai penguguran kandungan seperti pasal 346, 347, 348, dan 349 tidak menyebutkan keterangan bagi embrio yang masih diluar kandungan.
KUHP pasal 2 yang berbunyi: anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Jadi pra-embrio tidak sama dengan anak dalam kandungan.
KUHP pasal 499 mengatakan : menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat berpindah atau dipindahkan.
KUHP 255 menyeutkan : anak yang dilahirkan tigaratus hari setelah perceraian adalah tidak sah. Pada penundaan pengembalian embrio ke dalam rahim ibu bisa timbul masalah hokum apabila ‘ayah’ embrio tersebut meninggal atau telah bercerai denan ‘ibu’nya. Pada embrio yan didonasikan kepada pasangan infertile lain,dari segi hokum perlu dipertanyakan apakah anak itu sah secara hukum
3. Kasus
Seorang suami istri datang ke rumah sakit untuk melakukan inseminasi, karena sudah 10 tahun belum punya anak, ternyata dokter mendiagnosis bahwa istri mengalami kemandulan.
4. Pendapat
Menurut pendapat saya, inseminasi tersebut bleh di lakukan karna tujuanya baik untuk mendapatkan keturunan.

D. ABORTUS
1. Definisi
Abortus telah menjadi salah satu perdebatan internasional masalah etika. Berbagai pendapat bermunculan, baik yang pro maupun yang kontra. Abortus secara umum dapat diartikan sebagai penghentian kehamilan secara spontan atau rekayasa. Pihak yang pro menyatakan bahwa aborsi adalah mengakhiri atau menghentikan kehamilan yang tidak diinginkan, sedangkan pihak antiaborsi cenderung mengartikan aborsi sebagai membunuh manusia yang tidak bersalah.
Dalam membahas abortus biasanya dilihat dari dua sudut pandang, yaitu moral dan hukum. Secara umum ada tiga pandangan yang dapat dipakai dalam member! tanggapan terhadap abortus yaitu pandangan konservatif, moderat dan liberal (Megan, 1991).
2. Hukum dan Etika
Di Indonesia, aborsi diatur dalam undang-undang sebagai berikut:
Hukum aborsi di Indonesia:
a. UU No. 1 Tahun 1946, tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):”dengan alasan apapun aborsi adalah tindakan melanggar hukum”, sampai saat ini masih diterapkan.
b. UU No.7 Tahun 1984, tentang Pengesahan Konvensi penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan.
c. UU No. 23 Tahun 1992, tentang Kesehatan: dalam kondisi tertentu bisa dilakukan medis tertentu (aborsi)”, sampai saat ini masih diterapkan. (Hawari, 2006:59)

Selain itu, ada beberapa pandangan tentang aborsi, yaitu:
Pandangan konservatif. Menurut pandangan konservatif, abortus secara moral jelas salah, dan dalam situasi apa pun abortus tidak boleh dilakukan, termasuk dengan alasan penyelamatan (misalnya, bila kehamilan dilanjutkan, akan menyebabkan ibu meninggal dunia).
Pandangan moderat. Menurut pandangan moderat, abortus hanya merupakan suatu prima facia, kesalahan moral dan hambatan penentangan abortus dapat diabaikan dengan pertimbangan moral yang kuat. Contoh: Abortus dapat dilakukan selama tahap presentience (sebelum fetus mempunyai kemampuan merasakan). Contoh lain: Abortus dapat dilakukan bila kehamilan merupakan hasil pemerkosaan atau kegagalan kontrasepsi.
Pandangan liberal. Pandangan liberal menyatakan bahwa abortus secara moral diperbolehkan atas dasar permintaan. Secara umum pandangan ini menganggap bahwa fetus belum menjadi manusia. Fetus hanyalah sekelompok sel yang menempel di dinding rahim wanita.
Menurut pandangan ini, secara genetik fetus dapat sebagai bakal manusia, tetapi secara moral fetus bukan manusia. Kesirnpulannya, apa pun alasan yang dikemukakan, abortus seri tindakan menimbulkan konflik nilai bagi perawat bila ia harus terlibat dalam tindakan abortus. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, ataupun Australia, dikenal tatanan hukum Conscien Clauses, yang memperbolehkan dokter, perawat, atau petugas rum, sakit untuk menolak membantu pelaksanaan abortus. Di Indonesia tindakan abortus dilarang sejak tahun 1918 sesuai dengan pasal 3' s/d 3349 KUHP, dinyatakan bahwa "Barang siapa melakukan sesuatu dengan sengaja yang menyebabkan keguguran atau mating kandungan, dapat dikenai penjara". Masalah abortus memar kompleks, namun perawat profesional tidak diperkenankan memaks kan nilai-nilai yang ia yakini kepada klien yang memiliki nilai berbeda termasuk pandangan terhadap abortus.
3. Kasus
Seorang ibu berumur 35 tahun datang kepada perawat dan minta bantuan untuk menggugurkan kandunganya yang sudah berumur 6 bulan . karena klien tau bahwa anak yang di kandungnya menglami cacat fisik untuk menghindari perderitaan anak tersebut.apakah yang harus di lakukan seorang perawat.
4. Pendapat
Menurut pendapat saya itu boleh saja, karena tujuanya untuk menghindari penderitaan anak tersebut.

E. EUTANASIA
1. Definisi
Eutanasia merupakan masalah bioetik yang juga menjadi perdebatan utama di dunia barat. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani, eu (berarti mudah, bahagia, atau baik) dan thanatos (berarti meninggal dunia Jadi, bila dipadukan, berarti meninggal dunia dengan baik atau bahagia. Menurut Oxfort English Dictionary, euthanasia berarti tindakan untuk mempermudah mati dengan mudah dan tenang.
Dilihat dari aspek bioetis, eutanasia terdiri atas eutanasia volunte involunter, aktif dan pasif. Pada kasus eutanasia volunter, klien secara sukarela dan bebas memilih untuk meninggal dunia. Pada eutanasi. involunter, tindakan yang menyebabkan kematian dilakukan bukan atas dasar persetujuan dari klien dan sering kali melanggar keinginan klien. Eutanasia aktif melibatkan suatu tindakan disengaja yang menyebabkan klien meninggal, misalnya dengan menginjeksi obat dosis letal.Eutanasia pasif dilakukan dengan menghentikan pengobatan atau perawatan suportif yang mempertahankan hidup (misalnya antibiotika, nutrisi, cairan, respirator yang tidak diperlukan lagi oleh klien). Eutanasia pasif sering disebut sebagai eutanasia negatif, dapat dikerjakan sesuai dengan fatwa IDI.
2. Hukum
Eutanasia aktif merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan dalam KUHP pasal 338, 339, 345, dan 359.
Pasal 338 KUHP :
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP :
Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, duhukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP :
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurang selama-lamanya satu tahun (Hanafiah,M. Jusuf dan Amir, Amri. 1999:108).
3. Kasus
Seorang nenek berumur 75 tahun menderita stoke sudah 16 tahun tidak sembuh-sembuh dan nenek tersebut meminta kepada perawat untuk mengakhiri hidupnya.
4. Pendapat
Menurut pendapat saya perawat tetap tidak boleh melakukan hal tersebut.perbuatan tersebut tetap melanggar etis keperawatan,dan perawat harus memberikan dukungan terapeutik guna untuk membangkitkan kembali semangat pasien.

F. PENGHENTIAN PEMBERIAN MAKANAN, CAIRAN, DAN PENGOBATAN
1. Definisi
Makanan dan cairan merupakan kebutuhan dasar manusia. Memenuhi kebutuhan makanan dan rninuman adalah tugas perawat. Selama perawatan sering kali perawat menghentikan pemberian makanan dan minuman, terutama. bila pemberian tersebut justru membahayakan klien (misalnya, pada pra- dan pascaoperasi).
2. Hukum
Masalah etika dapat muncul pada keadaan terjadi ketidakjelasan antara memberi atau menghentikan makanan dan minuman, serta ketidakpastian tentang hal yang lebih menguntungkan klien. Ikatan Perawat Amerika (ANA, 1988) menyatakan bahwa tindakan penghentian dan pemberian makan kepada klien oleh perawat secara hukum diperbolehkan, dengan pertimbangan tindakan ini meng¬untungkan klien (Kozier, Erb, 1991).
3. Kasus
Mr.marno 34 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas sudah 15 hari tidak sadarkan diri , dan istrinya meminta kepada perawat untuk mencabut selang pengobatan cairan dan makanan , apa yang harus di lakuka perawat kepada pasien tersebut.
4. Pendapat
Perawat tidak boleh menuruti perintah istri pasien untuk menghentikan dan mencabut selang obat atau makanan tersebut ,sebaiknya perawat bemberi dorongan kepada istri pasien supaya tetap tabah dan selalu mendoakan suaminya semoga cepat smbuh.

G. TRANSPLANTASI ORGAN
1. Definisi
Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh orang lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang manusia pada saat dia hidup, atau setelah mati pada manusia lain.

2. Hukum
Pada saat ini, dunia kedokteran di Indonesia telah memasuki teknologi yang lebih tinggi. Transplantasi organ yang dahulu hanya dilakukan di rumah sakit luar negeri, untuk saat ini telah dapat dilakukan di Indonesia (misalnya. transplantasi kornea, ginjal, dan sumsum tulang).
Menurut Helsinki, tidak semua perawat terlibat dalam tindakan ini, namun dalam beberapa hal, perawat cukup berperan, seperti merawat dan meningkatkan kesehatan pemberi donor, membantu di kamar operasi, dan merawat klien setelah transplantasi (Megan, 1991).
Pelaksanaan transplantasi organ di Indonesia diatur dalam peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1981, tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis/transplantasi alat atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.. Tindakan transplantasi tidak menyalahi semua agama dan kepercayaan kepada Tuhan YME, asalkan penentuan saat mati dan penyelenggaraan jenazah terjamin dan tidak terjadi penyalahgunaan (Est Tansil, 1991).
Dari segi hukum transplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai suatu hal yang mulia dalam upaya mensehatkan dan mensejahterakan manusia walaupun ini adalah suatu tindakan yang melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan tetapi mendapat pengecualian hukuman, maka perbuatan tersebut tidak lagi diancam pidana, dan dapat dibenarkan (Wulan, 2011:23).
Pasal 10: transplantasi organ dan jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yaitu persetujuan harus tertulis penderita atau keluarga terdekat setelah penderita meniggal dunia
Pasal 11:
1. Trasplantasi organ dan jaringan tubuh manusia hanya boleh dilakukan oleh dokter yang sudah ditunjuk oleh mentri kesehatan.
2. Trasfusi alat dan jaringan tubuh manusia tidak boleh dilakukan oleh dokter yang merawat atau mengobati donor yang bersangkutan.
Dalam UU no. 23 tahun 1992 tentang ksehatan tercantum beberapa ketentuan mengenai transplantasi sebagai berikut :
Pasal 1 butir 5 “transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik.
Pasal 33 ayat (2) menyatakan bahwa mengingat organ atau jaringa tubuh termasuk darah merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa maka dilarang untuk dijadikan sebagai objek untuk mencari keuntungan atau komersial melalui jual beli. Oleh karena itu transplantasi hanya dapat dilakukan untuk tujuan kemanusian.
Ketentuan pidana untuk transpalantasi di atur dalam pasal 80 ayat 3 UUK “barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam peaksanaa transplantasi organ tubuh atau jaringan atau transpusi darah sebagai mana dimaksut dalam pasal 33 ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banayak 300 juta rupiah (Soeprato, 206 : 100-101).

Referensi :
Mimin, Suhaemin. 2003. Etika dalam Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.

Foto ilustrasi:

Secara umum kepemimpinan dapat didefinisikan bahwa kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya suatu tujuan tertentu.
Pemimpin memegang peranan penting dalam memotivasi staf untuk mencapai tujuan organisasi. Untuk melaksanakan tugas tersebut, pemimpin harus mempertimbangkan keunikan/karakteristik dari stafnya dan berusaha untuk memberikan tugas sebagai suatu strategi dalam memotivasi staf.

A. Komunikasi dan Hubungan Kerja
Komunikasi adalah berbagi pikiran, perasaan, dan ide-ide. bila dua orang atau lebih yang bekerja bersama-sama, beberapa jenis komunikasi terjadi, bahkan jika mereka bekerja tanpa bicara. bab ini memandang hubungan kerja dan keterampilan komunikasi dasar dari mendengarkan penuh perhatian melalui konfrontasi. fokusnya adalah pada peningkatan hubungan kerja melalui komunikasi yang efektif.
Menggunakan teknik komunikasi yang baik merupakan salah satu keunggulan dari kepemimpinan yang efektif dan manajemen. komunikasi mempengaruhi semua aspek dari pekerjaan kami, dari perawatan pasien untuk berunding bersama. efeknya pada pekerjaan kami adalah luas: komunikasi dapat digunakan untuk menyampaikan keramahan, untuk mengerahkan dominasi, atau untuk merusak status quo.
Komunikasi memegang peranan penting bagi kehidupan suatu perusahaan, baik perusahaan swasta maupun negeri. Komunikasi sangat penting untuk menjalin hubungan kerjasama antara manusia yang terlibat dalam suatu perusahaan dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam proses pencapaian tujuan perusahaan. Komunikasi akan memungkinkan setiap karyawan yang berada di perusahaan untuk saling membantu dan mengadakan interaksi. Kerjasama terbentuk karena adanya kesatuan persepsi tentang apa yang akan dicapai. Untuk itu diperlukan sekali adanya komunikasi yang baik antar anggota didalamnya, peran komunikasi dalam suatu organisasi dapat menciptakan hubungan kerja yang kondusif dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
1. Komunikasi Sebagai Alat Pertukaran
Komunikasi dapat diartikan sebagai pengirim pesan, penerima pesan, dan menginterpretasikan pesan verbal dan nonverbal (Kim, 1986; dalam Tappen, 1995). Komunikasi merupakan alat pertukaran informasi antara dua orang yang saling berinteraksi atau saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Ketika seseorang mengirimkan sebuah pesan kepada orang lain, respon seseorang dipengaruhi oleh pesan verbal dan nonverbal yang dikirimkan, serta dipengaruhi oleh nilai-nilai seseorang, kepercayaan, suasana hati, pengetahuan tentang situasi, dan lingkungan dimana interaksi tersebut terjadi.
a. Elemen-elemen Komunikasi
1) Sender (pemberi pesan), yaitu individu yang bertugas mengirimkan pesan.
2) Message (pesan), yaitu informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif bila jelas dan terorganisir yang diekspresikan oleh si pengirim pesan
3) Media, yaitu metode yang digunakan dalam pesan yaitu kata, bisa dengan cara ditulis, diucapkan, diraba, dicium. Contoh: catatan atau surat adalah kata; bau badan atau cium parfum adalah penciuman (dicium), dan lain-lain.
4) Receiver (penerima pesan): seseorang yang menerima pesan. Bisa berbentuk pesan yang diterima maupun pesan yang sudah diinterpretasikan.
5. Feed Back (Umpan balik), yaitu penerima pesan memberikan informasi/pesan kembali kepada pengirim pesan dalam bentuk komunikasi yang efektif. Umpan balik merupakan proses yang kontinyu karena memberikan respons pesan dan mengirimkan pesan berupa stimulus yang baru kepada pengirim pesan.
6. Gangguan, gangguan bukan merupakan bagian dari proses komunikasi, akan tetapi mempunyai pengaruh dalam proses komunikasi. Gangguan adalah hal yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah menafsirkan pesan yang diterimanya.
b. Proses Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu proses yang mempunyai komponen dasar sebagai berikut :


c. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal (verbal communication) adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral).
Keterampilan komunikasi verbal yang baik sangat penting bagi seorang pemimpin. Salah satu keterampilan komunikasi verbal yang terpenting adalah komunikasi asertif. Komunikasi asertif merupakan cara komunikasi yang memungkinkan seseorang untuk mengungkapkan diri mereka secara langsung, jujur dan tepat. Komunikasi asertif mengharuskan kesesuaian antara pesan verbal dan nonverbal. Agar proses pengarahan dalam manajemen dapat berhasil, maka seorang pemimpin harus mengasah keterampilan dalam komunikasi asertif.
d. Komunikasi Nonverbal
Komunikasi nonverbal adalah proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contohnya: nada suara dan penekanan pada kata-kata, gerak tubuh, gerakan tubuh dan posisi, kontak mata, ekspresi wajah, vokalisasi (seperti "Mmmm" atau "Uh huh"), lingkungan, waktu, dan penampilan.
1) Nada suara dan penekanan pada kata-kata tertentu dalam sebuah pernyataan sangat erat kaitannya dengan isi pesan,
2) Ekspresi wajah dapat menunjukkan emosi yang sedang dialami seseorang,
3) Kontak mata juga penting, terutama untuk menunjukkan minat saat berkomunikasi dengan orang lain,
4) Gerakan tubuh dan posisi dalam ruang juga mempunyai makna. Pada umumnya orang menilai, jika orang-orang yang duduk di kursi mereka dengan tangan terlipat di dada, maka mereka berada dalam posisi defensif atau melindungi diri dan mungkin kurang terbuka dalam partisipasi kelompok, daripada orang-orang yang bersandar ke depan dan dengan posisi lengan mereka yang terlihat lebih santai,
5) Ada berbagai vokalisasi bahasa non suara yang menyampaikan makna sendiri. Misalnya: tertawa, mendengus, peluit, dan lain-lain,
6) Gerak tubuh. Misalnya, menunjuk, mengangguk, mengetuk-ngetukkan jari, atau menggelengkan kepala,
7) Lingkungan, area tempat berlangsungnya komunikasi merupakan bagian penting dalam proses komunikasi. Komunikasi yang berlangsung di ruangan pimpinan umumnya dianggap lebih serius daripada yang berlangsung di cafetaria,
8) Waktu adalah cara lain nonverbal untuk menyampaikan pesan. Jumlah waktu yang dihabiskan untuk topik tertentu. Misalnya, pidato cepat dapat menunjukkan antusiasme, kecemasan, atau keduanya. Bicara lambat, dapat menunjukkan kebosanan atau kelelahan,
9) Penampilan. Banyak hal yang dapat dikomunikasikan dari penampilan kita, mulai dari pakaian, gaya rambut, kosmetik, dan lain-lain.
2. Hubungan Kerja
Hubungan kerja berbeda halnya dengan hubungan pribadi atau terapeutik, hubungan kerja mempunyai tujuan utama yaitu untuk menyelesaikan tugas (Gabarro, 1990; dalam Tappen, 1995).
a. Pembentukan Hubungan Kerja
Pembentukan sebuah hubungan kerja yang baru, melalui beberapa tahapan penyesuaian sampai mereka mencapai keadaan yang relatif stabil. Tahapan ini antara lain: orientasi (orientation), eksplorasi (exploration), pengujian (testing), dan stabilisasi (stabilization) (Gabarro, 1990; dalam Tappen, 1995).
Tahapan pembentukan hubungan kerja di atas, dijelaskan pada tabel berikut:
Tahapan Deskripsi Tujuan Kegiatan
Orientasi
(Orientation) Tahapan ini dimulai ketika orang pertama kali mulai bekerja sama Untuk mendapatkan kesan pertama Saling bertukar informasi awal
Eksplorasi
(Exploration) Mengeksplorasi kesan pertama yang terjadi berikutnya Mengembangkan hubungan Mengeksplorasi tujuan lebih lanjut, motif, keahlian
Pengujian
(Testing) Proses pengujian terhadap hubungan yang baru Mendefinisikan hubungan Pengkajian, analisis, negosiasi
Stabilisasi
(Stabilization) Hubungan yang dinamis, selalu berkembang, atau semakin memburuk Melanjutkan hubungan kerja, sebagaimana yang telah dideskripsikan Perbaikan, pengisian ulang, penyegaran, pemeliharaan
b. Kualitas Hubungan kerja
1) Hubungan yang positif. Pada awalnya sebuah hubungan kerja bersifat formal dan impersonal. Interaksi didasarkan pada norma-norma yang berkaitan dengan peran masing-masing setiap orang. Percakapan terbatas pada topik yang aman. Setiap kritik atau perselisihan yang dapat menyebabkan konflik terbuka dengan hati-hati dihindari. Jika mereka berkembang ke arah yang positif, hubungan biasanya menjadi jauh lebih informal dan pribadi dari waktu ke waktu. Percakapan mengalir secara bebas dan ketidaksepakatan ditangani dengan terbuka.
Dalam kondisi yang optimal, orang yang bekerja bersama-sama dapat mengembangkan ikatan yang kuat satu sama lain. Mereka merasa lebih bebas untuk mengungkapkan perasaan dan berbagi informasi tentang diri mereka sendiri. Mereka juga mulai peduli satu sama lain dan akan lebih bersedia untuk saling membantu tanpa arahan dari manejer. Yang paling penting dari perspektif kepemimpinan adalah bahwa mereka bekerja sama dengan baik karena mereka menikmati bekerja sama (Mulholland, 1991; dalam Tappen, 1995).
2) Hubungan yang negatif. Hubungan negatif terjadi hanya pada orang-orang yang tetap pada tingkat formal impersonal, setelah gagal untuk menghasilkan setiap ikatan pribadi antara rekan kerja. Hubungan negatif ini akan berlanjut kepada hubungan kerja yang lebih merusak, saling menyalahkan yang membuat orang merasa tidak nyaman, saling mengancam, melindungi diri sendiri, bahkan tidak manusiawi (Conrad, 1990; dalam Tappen, 1995).
3. Keterampilan Dasar Komunikasi
Pada bagian ini mengulas teknik-teknik dasar untuk memfasilitasi komunikasi yang efektif, yaitu: attending, responding, focusing, clarifying, personalizing, open-ended questions, providing information, support, dan confrontation.
a. Attending, yaitu memperhatikan semua aspek dari pesan yang disampaikan, seperti: nada, gerak tubuh, dan bahasa tubuh, serta kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini juga termasuk mendengarkan hati-hati dan mengamati perilaku nonverbal untuk memahami pesan yang lebih baik dan membiarkan orang lain tahu bahwa Anda sedang memperhatikannya,
b. Responding, yaitu menanggapi pesan yang diterima,
c. Focusing, yaitu memfokuskan kembali percakapan kepada tema yang semula,
d. Clarifying, yaitu mengklafirikasi persepsi untuk mengetahui lebih lanjut tentang apa yang ada di pikiran orang lain dan untuk menyamakan persepsi, sehingga kita juga dapat memahami apa yang dikatakan orang lain,
e. Personalizing. Teknik ini memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah untuk memfasilitasi peningkatan kesadaran diri dan eksplorasi dari banyak faktor yang terlibat dalam situasi apapun. Yang kedua adalah untuk memfasilitasi kemajuan menuju identifikasi yang jelas dari masalah dan kemudian ke pemecahan masalah.
f. Open-Ended Questions (pertanyaan terbuka), yaitu bahwa sebuah pertanyaan terbuka adalah pertanyaa yang tidak dapat dijawab dengan satu kata seperti "ya" atau "tidak". Sehingga mendorong insiatif orang lain untuk lebih banyak berpikir,
g. Providing Information (memberikan informasi), yaitu bahwa seorang pemimpin berperan dalam menyediakan informasi yang diperlukan oleh bawahannya, yang sesuai dengan keahlian mereka,
h. Support (mendukung), yaitu dukungan bukan hanya dapat memberikan sebuah solusi untuk menyelesaikan masalah, akan tetapi dukungan juga cukup menjadi pendengar, dan dapat dipercaya juga merupakan cara yang efektif untuk memberikan dukungan.
i. Confrontation (konfrontasi), yaitu mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian, dengan cara memberikan tantangan atau berhadapan langsung dengan orang tersebut, mengarahkan seseorang untuk merefleksikan perilakunya, dan pada akhirnya terjadi perubahan terhadap perilakunya sendiri.

B. Mengatasi Konflik
Konflik adalah suatu kejadian yang tak terelakkan dalam lingkungan kerja. Klonflik diatasi atau diselesaikan dengan cara yang sangat bervariasi dari satu orang ke orang lain dan dari satu organisasi ke yang lain.
1. Konflik
a. Sumber Konflik
Konflik dapat timbul dari sejumlah sumber, termasuk mempertentangkan adanya perbedaaan; perselisihan atas alokasi sumber daya, atau ancaman yang dirasakan kepada individu atau kelompok atau organisasi itu sendiri. Perbedaan yang tidak kompatibel mungkin karena budaya, nilai-nilai, kepercayaan, bahasa, pendidikan, pengalaman, keterampilan, nilai-nilai profesional dan norma, pola perilaku, status, perselisihan, dan banyak lainnya.
b. Penanganan Konflik
Nicotera (1993; dalam Tappen, 1995) menunjukkan bahwa ada tiga dimensi bagaimana seseorang menangani konflik: 1) perhatian terhadap pandangan mereka sendiri, 2) perhatian terhadap pandangan pihak lain, dan valensi emosional dari situasi konflik tersebut (positif, netral, atau negatif)
c. Tindakan Pencegahan
Tindakan dapat diambil untuk mengurangi jumlah konflik yang dihadapi tim. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:
1) Mendorong komunikasi terbuka dan mengembangkan keterampilan dalam konfrontasi dan negosiasi, mempersiapkan kelompok untuk menangani konflik secara konstruktif,
2) Mempertahankan sikap realistis optimis bahwa konflik dapat diselesaikan,
3) Setelah kelompok telah mampu menerima adanya konflik, perlu menganalisis untuk menentukan sumber dan siapa yang terlibat,
4) Langkah berikutnya adalah kesepakatan. Diskusi ini membantu untuk mengurangi kesenjangan antara sisi yang berlawanan dalam konflik dan juga berfungsi untuk membuat konflik muncul jauh lebih kecil dan lebih mudah dikelola, sehingga menghasilkan resolusi atau penyelesaian yang dapat diterima oleh seluruh anggota kelompok.
2. Negosiasi dan Penyelesaian Konflik
Negosiasi diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang kompleks, terutama konflik. Negosiasi adalah memberi dan menerima antara individu atau kelompok di mana pihak yang terlibat mencoba untuk memberikan resolusi masalah mereka yang dapat diterima oleh semua pihak.
3. Perundingan Bersama
Perundingan bersama adalah bergabung bersama karyawan untuk tujuan meningkatkan kemampuan mereka untuk mempengaruhi pipmpinan mereka dan memperbaiki kondisi kerja. Dalam bahasa hubungan kerja, pimpinan sering disebut sebagai pihak manajerial dan karyawan yang disebut sebagai tenaga kerja, atau para profesional.
4. Perundingan Bersama Berdasarkan Sudut Pandang Pegawai
Berdasarkan sudut pandang karyawan, perundingan bersama dimulai dengan pembentukan sebuah dewan pengorganisasian dan pengakuan dari pihak yang akan berunding, biasanya asosiasi profesional atau serikat nasional, oleh pimpinan, baik secara sukarela atau setelah pemilihan. Kemudian negosiasi kontrak dimulai antara perwakilan manajemen dan unit perundingan. Jika menemui jalan buntu, mediasi, pencarian fakta, arbitrase mengikat, atau penghentian pekerjaan dapat digunakan untuk membawa kesepakatan.
5. Perundingan Bersama Berdasarkan Sudut Pandang Manejer
Dari sudut pandang manajemen, ada beberapa tindakan yang dapat diambil untuk mencegah perserikatan. Ini termasuk survei reguler pendapat karyawan, kompensasi yang memadai dan manfaat, prosedur pengaduan yang efektif, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, dan profesional memperlakukan seperti profesional. Tindakan yang lebih spesifik termasuk mengendalikan komunikasi dalam organisasi adalah serikat, kepemimpinan dan manajemen yang baik, serta melalui pengetahuan tentang kontrak adalah komponen yang paling penting dari strategi manajemen yang efektif untuk berurusan dengan serikat karyawan.

C. Kelompok Kerja
1. Kelompok Kecil
Kelompok adalah suatu system terbuka yang terdiri dari tiga orang atau lebih yang terikat secara bersama dalam suatu ikatan atau ketertarikan umum. Individu yang membangun kelompok adalah sebagai subsistem. Definisi yang lebih formal dari kelompok adalah : “Kelompok adalah sistem sosial yang membawa berbagai fungsi sambil berkumpul bersama (misalnya suatu organisasi)” (McGrath, 1990; dalam Tappen, 1995).
2. Tahapan Pengembangan Kelompok
a. Forming
Pada tahap ini, kelompok baru saja dibentuk dan diberikan tugas. Anggota kelompok cenderung untuk bekerja sendiri dan walaupun memiliki itikad baik namun mereka belum saling mengenal dan belum bisa saling percaya. Waktu banyak dihabiskan untuk merencanakan, mengumpulkan infomasi dan mendekatkan diri satu sama lain.
b. Storming
Pada tahap ini kelompok mulai mengembangkan ide-ide berhubungan dengan tugas yang mereka hadapi. Mereka membahas isu-isu semacam masalah apa yang harus merka selesaikan, bagaimana fungsi mereka masing-masing dan model kepemimpinan seperti apa yang dapat mereka terima. Anggota kelompok saling terbuka dan mengkonfrontasikan ide-ide dan perspektif mereka masing-masing. Pada beberapa kasus, tahap storming cepat selesai. Namun ada pula beberapa kelompok yang mandek pada tahap ini. Tahap storming sangatlah penting untuk perkembangan suatu kelompok. Tahap ini bisa saja menyakitkan bagi anggota kelompok yang menghindari konflik. Anggota kelompok harus memiliki toleransi terhadap perbedaan yang ada pada setiap anggota kelompok.
c. Norming
Terdapat kesepakatan dan konsensus antara anggota kelompok. Peranan dan tanggung jawab telah jelas. Kelompok mulai menemukan haromoni seiring dengan kesepakatan yang mereka buat mengenai aturan-aturan dan nilai-nilai yang digunakan. Pada tahap ini, anggota kelompok mulai dapat mempercayai satu sama lain seiring dengan mereka melihat kontribusi penting masing-masing anggota untuk kelmpok.
e. Performing
Kelompok pada tahap ini dapat berfungsi dalam menyelesaikan pekerjaan dengan lancar dan efektif tanpa ada konflik yang tidak perlu dan supervisi eksternal. Anggota kelompok saling tergantung satu sama lainnya dan mereka saling respek dalam berkomunikasi. Supervisor dari kelompok ini bersifat partisipatif. Keputusan penting justru banyak diambil oleh kelompok.
f. Adjourning dan Transforming
Ini adalah tahap yang terakhir dimana proyek berakhir dan kelompok membubarkan diri. Kelompok bisa saja kembali pada tahap manapun ketika mereka mengalami perubahan (transforming). Misalnya jika ada review mengenai goal ataupun ada perubahan anggota kelompok.
3. Pola Interaksi dalam Kelompok
Sejumlah pola yang berbeda dapat ditemukan dalam interaksi kelompok. Beberapa di antaranya, seperti sebagai pemain peran oleh anggota kelompok, terutama pola perilaku individu. Lainnya seperti, pola komunikasi, agenda tersembunyi, disfungsional pola, dominan sinkroniser kesemuanya adalah pola kelompok secara keseluruhan.
a. Peran Kelompok
Peran kelompok digambarkan sebagai perilaku individual anggota kelompok dalam hal efeknya pada kelompok. Di dalam pengertian ini, berbagai peran dapat dibagi dalam dua kategori : peran fungsional dan nonfungsional. Perilaku yang berkontribusi terhadap penyelesaian tugas kelompok di sebut peran tugas, yang mendukung fungsi kelompok dan memenuhi kebutuhan sosial atau relasional anggota. (Fisher & Ellies, 1990) yang disebut peran pembentukan kelompok. kedua peran tugas dan pembentukan kelompok adalah peran fungsional untuk dimainkan dalam kelompok.
Berikut ini adalah peran tugas, peran pembentuk kelompok dan peran nonfungsional.
1) Peran Tugas Fungsional.
Peran berikut ini berkontribusi terhadap penyelesaian tugas kelompok:
a) Iniciator/contributor. Membuat saran, mengusulkan ide-ide baru kepad kelompok. Saran yang dapat menjadi pemecah masalah, salah satu pendekatan masalah atau merupakan cara baru untuk kelompok untuk melanjutkan pekerjaannya.
b) Information giver. Menawarkan informasi terkait dari pengetahuan pribadi atau pengalaman yang dapat membantu kelompok dalam langkah-langkahnya.
c) Information seeker. Meminta informasi atau klarifikasi fakta atau saran terkait.
d) Opinion giver. Menawarkan pendapat, penilaian, atau perasaan dari anggota kelompok. Dapat mengomentari kesesuaian dalam hal nilai-nilai tertentu.
e) Opinion seeker. Meminta pendapat, penilaian, atau perasaan anggota kelompok lainnya, mencari klarifikasi nilai.
f) Disagreer. Menunjukkan kesalahan dalam informasi yang diberikan atau mengambil sudut pandang yang berbeda.
g) Coordinator. Menunjukkan hubungan antara saran yang berbeda atau pernyataan yang telah dibuat.
h) Elaborator. Memperluas saran atau ide-ide yang dibuat dan memberi contoh atau alasan (rasional)
i) Energizer . Merangsang kelompok, mendorong aktivitas dan pergerakan menuju tujuan kelompok.
j) Summarizer. Menarik bersama-sama semua ide atau saran dari kelompok, secara singkat menguraikan apa yang telah dicapai kelompok.
k) Procedural technician. Melakukan tugas mekanik yang diperlukan seperti menyiapkan kursi, menjalankan kamera video, membagikan kertas, atau melayani minuman.
l) Recorder. Menuliskan ide-ide, saran, atau keputusan yang dibuat oleh kelompok; mungkin juga diagram interaksi kelompok
2) Peran Fungsional Pembentuk Kelompok
a) Encourager. Berespon terhadap orang lain secara hangat, mmenerima dan kadang-kadang memuji kontribusi orang lain.
b) Standard setter. Menyatakan standar atau pedoman kelompok untuk digunakan pengambilan keputusan.
c) Gatekeeper. Mendapatkan kontribusi dari anggota kelompok.
d) Consensus taker. Menguji pendapat kelompok dan keputusan dengan menyatakan mereka dan menanyakan apakah anggota setuju atau tidak.
e) Diagnoser. Menentukan dan menunjukkan blok untuk kemajuan kelompok.
f) Expresser. Menggambarkan perasaan, reaksi, dan tanggapan dari diri dan orang lain, mengungkapkan perasaan kelompok.
g) Tension reliever. Menyediakan outlet untuk ketegangan dalam kelompok dengan menggunakan humor, konsiliasi, dan mediasi.
h) Follower. Menerima keputusan kelompok, berjalan bersama dengan kelompok tanpa memulai atau mengambil peran aktif lainnya.

3) Peran Non Fungsional
a) Aggressor. Menciptakan permusuhan, tanda-tanda penyerangan, mengkritik orang lain melebihi asertif.
b) Recognition seeker. Melakukan sesuatu untuk mencari perhatian terhadap diri sendiri, menggunakan kelompok sebagai penonton pribadi.
c) Monopolizer. Berbicara terlalu sering dan terlalu lama sehingga orang lain tidak punya kesempatan untuk bicara.
d) Dominator/usurper. Mencoba mengambil alih kepemimpinan terhadap kelompok, ingin memiliki cara sendiri, dan mengatakan kepada kelompok apa yang ingin dilakukan.
e) Blocker. Menghalangi kemajuan kelompok dengan membuat kontribusi yang merusak, menjadi negatif, dan menolak melampaui kewajaran.
f) Playboy. Membuat komentar tidak sesuai dan bodoh, berbisik, bermain-main dan melaksanakan tugas dengan tidak serius.
g) Zipper-mouth. Tidak berpartisipasi bahkan secara nonverbal. Menunjukkan penerimaan terhadap kelompok, (sebagai pengikut), merajuk.
b. Pola Komunikasi dalam Kelompok
Meskipun terdapat berbagai karakteristik unik tentang pola komunikasi dalam masing-masing kelompok, secara keseluruhan pola komunikasi verbal biasanya dapat dibandingkan dengan salah satu dari lima pola yang umum ditemukan dalam kelompok.
1) Komunikasi Satu Arah (One-Way)
Komunikasi verbal bergerak hanya dalam satu arah dalam pola ini: dari pembicara kepada kelompok. kuliah formal adalah contoh yang paling terkenal dari pola ini.
Pola ini dapat dibandingkan dengan penampilan hidup dalam arti bahwa pembicara berkinerja dan sisanya dari kelompok bertindak sebagai penonton.Pola satu arah adalah bentuk yang sangat terorganisir dari komunikasi yang dikendalikan oleh pemimpin atau pembicara. Meskipun pemimpin tampaknya memiliki kontrol total dalam jenis kelompok ini, penting untuk dicatat bahwa kelompok telah mengikuti kontrol ini.
Bentuk ekstrim dari komunikasi satu arah memungkinkan tidak ada umpan balik verbal dari kelompok, tapi respon nonverbal dari kelompok dapat memiliki kekuatan mengejutkan. Ejekan, desis, tawa, dan bertepuk tangan dari penonton semua menceritakan seberapa baik yang dia lakukan. Senyum lebih halus dan anggukan setuju dari kelompok yang mendengarkan memberi penguatan yang positif bagi pembicara, sedangkan mengerutkan kening, menguap, atau gelisah dapat mencegah pembicara. Meskipun sifat yang sangat terkendali dari pola komunikasi, prinsip bahwa anda tidak bisa tidak berkomunikasi masih berlaku.
Dalam bentuk yang kurang ekstrim, pembicara mengakui orang-orang dalam kelompok dan memungkinkan mereka mengajukan pertanyaan atau membuat komentar. Pembicara merespon, namun memegang kendali partisipasi. ini memungkinkan untuk beberapa klarifikasi dan perselisihan, bentuk yang tidak ekstrim.
Pola satu arah yang tepat untuk kinerja atau untuk cepat mengirimkan informasi ke kelompok dan memungkinkan interaksi kelompok sedikit atau tidak ada. Hal itu adalah cara yang efisien untuk menyampaikan informasi kepada sejumlah besar orang dalam waktu singkat, tetapi belum tentu cara terbaik untuk memfasilitasi komunikasi atau pembelajaran. Belum sesuai untuk pemecahan masalah kelompok, pengambilan keputusan, berbagi perasaan, konfrontasi, evaluasi, dan proses lain di mana orang perlu merenungkan dan merespon setiap masukan lain. Kelompok tidak dapat matang bila pola satu arah dilanjutkan
2) Kaku (Stilted)
Komunikasi verbal mengalir di kedua arah dalam pola kaku, tapi polanya masih agak formal. Jenis yang paling umum adalah satu di mana setiap anggota mengambil giliran untuk berbicara, biasanya terjadi di sekitar lingkaran atau baris atas dan ke bawah. Dalam versi yang paling kaku, semua komunikasi diarahkan pada pemimpin. dalam versi yang kurang formal, komunikasi juga dapat ditujukan kepada kelompok secara keseluruhan.
Meskipun kurang pengendali dari pola satu arah, pola terhenti masih membebankan banyak struktur pada interaksi kelompok. Diskusi tidak mungkin hidup selama pola kaku berlanjut.
Pola kaku sangat umum dalam kelompok baru dan dapat membantu secara sementara untuk menegakkan ketertiban atau untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk berbicara. Desakan untuk melanjutkan pola ini akan menghambat perkembangan kelompok tersebut. Itu juga digunakan untuk pengenalan dan untuk "show-and-tell" jenis persentation, acara dengan orang dewasa. Penggunaannya memungkinkan karena gaya otoriter pemimpin atau karena anggota kelompok belum nyaman dengan satu sama lain. Anggota hanya dapat diminta untuk berbicara kepada seluruh kelompok untuk membuat pola menjadi kurang kaku, tetapi biasanya memakan waktu lebih bagi anggota untuk cukup bersantai untuk pindah dari pola ini menjadi pola komunikasi yang lebih terbuka.
3) Terbatas (Limited)
Dalam pola komunikasi yang terbatas, beberapa anggota kelompok berkomunikasi dengan pemimpin dan dengan satu sama lain, tetapi yang lain tidak. ketika interaksi yang animasi, hal itu mungkin tampak kepada pengamat umum bahwa kelompok tersebut memiliki pola komunikasi yang terbuka, namun observasi yang cermat atau dengan merekam interaksi dapat mengungkapkan bahwa komunikasi tersebut terbatas pada beberapa anggota kelompok dan anggota lainnya tidak mengambil bagian.
Pola yang terbatas dapat menjadi hasil dari peningkatan dominasi subkelompok. Hal itu juga dimungkin karena pemimpin dan ketidakmampuan kelompok untuk mencegah beberapa anggota untuk memonopoli diskusi.
Para anggota yang diam dalam grup juga harus diperhatikan. Kebisuan mereka menunjukkan ketidaksetujuan dari tindakan kelompok atau perasaan tidak nyaman. Mereka mungkin hanya perlu beberapa dorongan untuk berpartisipasi lebih aktif. Atau mereka mungkin zipper-mulut dimana perasaan negatif tentang kelompok perlu ditangani oleh kelompok. Intervensi pemimpin harus diarahkan untuk mendiagnosa alasan untuk pola dan mempromosikan kemajuan kelompok menuju kedewasaan.
4) Terbuka (Open)
Pola terbuka ditandai dengan pertukaran bebas dan mudah antara semua anggota kelompok, termasuk pemimpin. Setiap anggota kelompok memiliki kesempatan untuk berbicara, untuk didengar, dan untuk menerima beberapa jenis respon. Gaya kepemimpinan biasanya demokratis, tapi bisa Laissez-Faire. Biasanya ditemukan dalam kelompok yang lebih dewasa.
Pola komunikasi yang terbuka secara fleksibel lebih terorganisir namun dapat diprediksi dalam arti bahwa para anggota tahu apa yang mereka dapat satu sama lain. Hal ini mendasari kemungkinan akan sulit bagi pengamat untuk mendeteksi ke dalam pola yang sangat terbuka.
Komunikasi terbuka tepat dan paling sesuai untuk interaksi kelompok. Namun, itu bukan pola yang paling efisien untuk menyelesaikan tugas yang sederhana atau cara tercepat untuk membuat keputusan.
5) Kacau Balau (Chaotic)
Pola kacau melampaui pertukaran bebas dan mudah dari pola terbuka untuk teratur, tak terduga, dan tak terkendali. Percakapan di luar antara dua anggota adalah umum. Anggota kelompok mengganggu satu sama lain, mengabaikan satu sama lain, atau berbicara pada saat yang sama, kadang-kadang berteriak untuk didengarkan. Kelompok dapat sesantai orang di sebuah pesta atau mungkin tegang, dengan terang-terangan berperang faksi. kepemimpinan biasanya Laissez-Faire dan hampir benar-benar kurang dalam kontrol.
Pola terbuka mungkin tampak mendekati kekacauan, tapi pengamatan lebih dekat mengungkapkan prediktabilitas dan organisasi yang tidak memiliki pola kacau, agak seperti perbedaan antara tiga cincin sirkus dan massa kerusuhan.
Pola kacau tidak tepat untuk setiap kelompok yang memiliki tugas untuk diselesaikan. Apapun yang dilakukan oleh kelompok dengan pola komunikasi kacau dapat terjadi kecelakaan. Intervensi pemimpin harus ditujukan untuk membawa ketertiban ke dalam pola komunikasi dan kemudian meningkatkan kematangan kelompok.

4. Karakteristik Kelompok Matur dan Immatur
Matur Immature
- Batasan yang jelas

- Tujuan yang tegas
- Tujuan umum bersama

- Identitas kuat sebagai keseluruhan

- Tenang, informal
- Terbuka, komunikasi dua arah
- Menerima
- Menerima perbedaan

- Fleksibel, norma yang dapat diramalkan
- Terpadu
- Pengakuan dan respon terhadap input dan kebutuhan anggota

- Umpan balik yang konstruktif - Batasan yang tidak jelas dan berubah-ubah
- Tujuan yang samar-samar
- Tujuan yang berlawanan atau tidak ada tujuan
- Identitas yang tidak pasti karena kehilangan anggota
- Kaku, formal, atau kacau balau
- Komunikasi tertutup, tersembunyi
- Penolakan, perbedaan, bermusuhan
- Penindasan, kekacauan karena perbedaan
- Norma yang kaku dan tidak konsisten
- Koneksi sedikit antara anggota
- Mengabaikan perhatian pada hubungan, fokus pada tugas
- Sering gagal untuk mengakui atau berespon terhadap anggota
- Umpan balik minimal atau destruktif atau keduanya

D. Pertemuan dan Konferensi
1. Pertemuan untuk Membahas Masalah (Problem Discussion Meetings)
Pertemuan untuk membahas masalah diperlukan sebelum pemecahan masalah dapat dicapai. Anggota kelompok yang berbeda dapat memiliki persepsi yang sangat berbeda dari masalah. Ketika hal ini terjadi, pembahasan masalah adalah cara yang efektif untuk menghadapi masalah dan memperjelas hal itu, sehingga dapat diselesaikan.
a. Persiapan (Preparation)
Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan untuk memimpin rapat yaitu: tujuan, presentasi, tanggal, tempat, dan waktu, publikasi pertemuan, menyediakan cakupan staf, penyegaran, mengurangi ancaman yang memungkinan orang yang diundang untuk hadir tersebut diwakili oleh orang lain.
b. Implementasi (Implementation)
1) Pembukaan Rapat. Pemimpin membuka pertemuan dengan menyambut orang-orang sebagai sebuah kelompok dan secara singkat menyatakan tujuan dari pertemuan tersebut
2) Memimpin Rapat. Salah satu tanggung jawab utama pemimpin selama pertemuan berlangsung adalah untuk mendorong komunikasi terbuka. Pemimpin perlu menetapkan aturan dasar dan membuat pernyataan di awal pertemuan bahwa semua anggota kelompok harus mengakui dan menghormati sifat pribadi dan subjektif dalam menyatakan pendapatnya, sehingga akan membantu membangun iklim “saling menerima” dalam kelompok.
3) Meringkas. Pada akhir diskusi, pemimpin merangkum sudut pandang yang ditawarkan dan mengidentifikasi setiap hasil yang telah dicapai oleh kelompok.
c. Membuat Naskah (Script)
Naskah tersebut menyajikan pembahasan yang berlangsung pada sebuah konferensi yang sebenarnya.

d. Menganalisis Naskah (Analysisi Script)
Menganalisis Naskah. Sebagian besar, yang termasuk di sini adalah: pengaturan tempat duduk, pola komunikasi, peran yang dimainkan oleh masing-masing anggota kelompok, kematangan kelompok, jalannya diskusi, proses pengambilan keputusan dan hasil dari konferensi, dan gaya pemimpin dan efektivitasnya.
2. Konferensi Penyelesaian Masalah (Problem-Solving Converences)
Konferensi pemecahan masalah adalah rapat yang diadakan untuk tujuan mencari solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi oleh orang-orang di tempat kerja. Konferensi pemecahan masalah dirancang untuk membawa bersama-sama pengetahuan dan ketrampilan semua anggota tim untuk memberikan layanan kesehatan berkualitas tinggi. Konferensi yang berpusat pada pasien atau klien, dan berpusat pada keluarga merupakan jenis konferensi pemecahan masalah yang berkaitan dengan cara yang lebih baik untuk memberikan perawatan.
a. Persiapan (Preparation)
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan untuk memimpin rapat yaitu: tujuan, rencana presentasi, dan mengurangi ancaman,
b. Pelaksanaan (Implementation)
Pelaksanaan konferensi pemecahan masalah dimulai dengan pidato pembukaan, deskripsi situasi, dan mengungkapkan masalah. Pemimpin memandu diskusi, merangkum hasil dari pertemuan tersebut, dan memastikan bahwa keputusan ditindaklanjuti setelah pertemuan.
c. Analisis (Analysis)
Partisipasi aktif dari setiap anggota kelompok ini dicari dalam konferensi pemecahan masalah karena setiap peserta akan diharapkan untuk melaksanakan keputusan yang dibuat oleh kelompok. Hasil dari konferensi ini tidak hanya menjadi kesepakatan dari kelompok saja, akan tetapi secara efektif harus menyelesaikan masalah yang sebenarnya yang terjadi dalam kelompok tersebut.

3. Konferensi Informasi (Information Conferences)
Sebuah konferensi informasi pada dasarnya merupakan proses pembelajaran yang singkat, yang dapat diimplementasikan pada tim atau pada masing-masing unit. Meskipun singkat, desain masih perlu didasarkan pada pemahaman tentang proses pembelajaran dan kebutuhan para pelajar dewasa.
Konferensi informasi dapat mencakup hampir semua subjek, seperti: ceramah dan demonstrasi pada aspek asuhan keperawatan, laporan tentang pelayanan keperawatan terbaru, sebuah kelas untuk pasien mempersiapkan pulang, mini-lokakarya tentang strategi promosi kesehatan bagi masyarakat. Tujuannya lebih informasional, atau untuk mendorong pemikiran reflektif dan meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri dan informasi lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Candra Yoga. (2003). Manajemen Administrasi Rumah Sakit. Ed. 2, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Gillies, Dee Ann. (1994). Manajemen Keperawan : Suatu Pendekatan Sistem. Edisi ke dua. Alih bahasa Drs. Dika Sukmana dan Rika Widya Sukmana SP. W.B. Saunders
Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2010). Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan: Teori dan Aplikasi. (edisi 4). Jakarta : EGC.

Marquis, B. L. & Huston, C. J. (2009). Leadership Roles and Management Function in Nursing. 6th ed. Wolters Kluwer Healt.

Potter, Patricia A dan Perry, Anne G. (2009). Fundamental Keperawatan. Ed. 7 . Buku 1. Alih Bahasa dr. Adrina Ferderika Nggie. Jakarta : Salemba Medika

Swansburg,R. (1996). Management and Leadership for Nurses Managers. Second Eddition.

Sitorus, Ratna & Panjaitan, Rumondang. (2001).Manajemen Keperawatan:Manajemen Keperawatan di Ruang Rawat. Jakarta: Cv Sagung Seto

Tappen, R.M. (1995). Nursing leadership and management: concept and practice. 3rd edition. Philadelphia: F. A. Davis Company.